Padahal, kalau ada seseorang bertanya, apa keinginan terbesar Dinda. Jawabannya sederhana: dia ingin punya banyak waktu bersama dengan keluarga. Sesederhana makan bersama di meja makan yang tidak pernah dia rasakan. Sesepele menonton acara televisi di ruang tengah sambil bercerita apa yang telah dilakukan seharian. Hal biasa yang sering dilakukan oleh keluarga, tapi begitu Dinda inginkan.

"Pakein sepatu sama kaus kaki, Bi."

Bi Umnah segera berlutut, memakaikan sepatu Adidas dan kaus kaki berwarna pink di kaki putih Dinda. Usai terpakai sempurna, Dinda segera menyudahi sarapannya yang hanya menikmati dua suapan. Dia mengambil tasnya dan berjalan ke luar. Di pelataran rumah luasnya, mobil sudah terparkir di dekat air pancuran dengan kondisi mesin menyala, bersiap untuk berangkat. Dinda masuk ke mobil dan kendaraan melaju setelah waktu menunjuk tepat di pukul delapan pagi.

Sedangkan Bi Umnah yang berdiri di depan rumah menghela napas lega, "Alhamdulillah wis pergi juga, seneng aku. Neng, yuk hidupin musik, Ayu Ting-Ting sing alamat palsu." Waktu Dinda pergi ke sekolah adalah waktu berleha-leha bagi seluruh asisten rumah tangga, mereka bisa berenang sepuasnya, saling pijit-memijit, menikmati makanan di kulkas. Sebelum nanti anak majikannya itu pulang dan kembali mengubah rumah menjadi neraka karena tidak henti-hentinya menyuruh mereka bekerja.

***

Mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Dia terlambat, sebetulnya telat adalah sesuatu yang biasa, tapi Dinda niatnya ingin datang tepat waktu supaya dia bisa pamer kepada adik-adik kelasnya. Ada kakak kelas super menawan yang menarik perhatian sewaktu kali pertama turun dari mobil Alphard milik ayahnya. "Telat lagi! Telat lagi! Kamu tuh ya, Mbak!" Suara Bu Erna, yang begitu dikenalnya dan dirindukannya selama libur kini terdengar lagi, dengan logat Jawa kental, memanggil anak muridnya 'Mas' dan 'Mbak'. "Ayo ikut Ibu."

Dinda menggerutu dalam hati.

Dia digiring menuju ke tengah lapangan dan ternyata Dinda tidak sendiri, ada orang lain yang terlambat. Geri dan Aditya. Cewek itu menunjukkan raut wajah tidak suka. "Pasti, kalian terus, sampai bosen Ibu tuh ya. Udah naik kelas sebelas, tapi kelakuan masih sama aja nggak berubah. Kamu juga!" Bu Erna memukul betis Dinda dengan penggaris kayu besar sampai cewek itu berjingkat kesakitan, "sudah Ibu bilang kalau ke sekolah jangan pakai kaus kaki pink!"

"Buru-buru, Bu, nggak sadar kalau warnanya pink."

"Halah, alasan saja. Rok kamu tuh, kurang naik, mau Ibu robek?" Bu Erna memelotot melihat rok yang dikenakan Dinda beberapa senti di atas lutut. "Rambut kamu tuh, panjang, mau Ibu gunting?" Perhatian Bu Erna tertuju pada rambut Geri. Salah satu guru yang kerjaannya berpatroli untuk menertibkan rambut anak cowok kalau melebihi kerah seragam sekolah, mending kalau seandainya potongannya rapi, Bu Erna biasanya membuat rambut anak cowok jadi pitak sebelah.

"Kamu juga, Mas," Bu Erna menunjuk Aditya, "semenjak berteman sama Geri, jadi ikutan terpengaruh buruk. Padahal Ibu akui ya kamu itu lumayan pintar." Bu Erna tidak tahu kalau sebetulnya Aditya itu tidak hanya menganggap Geri sebagai teman, tapi juga diam-diam menjadikkannya idola terselubung.

Bukan lagi rahasia umum atau sudah jadi sebuah ketentuan yang diciptakan oleh standar sosial kalau di setiap sekolah pasti ada satu anak yang meskipun nakalnya tidak ketulungan, suka bikin onar dan kerusuhan, tawuran antar-sekolah hingga guru sakit tenggorokan karena berteriak mengingatkan, tapi tetap saja dikagumi dan dianggap sebagai dewa penyelamat oleh teman-teman atau adik kelasnya. Bagi Aditya, ciri-ciri itu cocok bagi Geri. Nama lengkapnya Geri Alfian Putra. Sejak kehadirannya menjadi murid kelas sepuluh, kehadirannya langsung menonjol karena sebetulnya dia lebih tua dibanding yang lain berkat tidak naik kelas sekali sewaktu SMP.

KISAH UNTUK GERIWhere stories live. Discover now