"Jelasin sama gue sekarang," pinta Danil. Pikiran cowok itu jadi ke mana-mana. Apalagi mengingat yang hampir dilihatnya tadi.
"Dia piktor, pikiran kotor. Gue denger dari mantan gue, mantan gue—"
"Yosep, plis, jangan becanda." Tidak lama Danil frustrasi bertanya dengan Yosep. Sepertinya hari ini Yosep salah makan.
Yosep tertawa. "Lo kenapa dah kepo amat sama dia?"
"Galang kalau lagi berdua doang sama cewek gimana?" tanya Danil tak mau basa-basi lagi. Karena basa-basi dengan Yosep yang ada pertanyaannya akan basi duluan.
Yosep menjentikkan jari. "Nah, pertanyaan bagus. Itu dia yang gue maksud 'mainnya di atas kita'. Kalau cewek yang suka sama Galang, sih, mungkin mau-mau aja diisengin sama dia."
"Iseng lo bilang? Itu harga diri cewek, oy!" Danil sudah paham maksud Yosep dan itu berhasil membuatnya tidak tenang.
"Lah, napa lo emosi?"
Danil tak menjawab. Ia melirik arloji di tangan kirinya, sudah lima belas menit yang lalu lonceng berbunyi. Mungkin ... gadis itu sudah di perpustakaan sekarang.
Kemudian tatapan Danil jatuh pada lapangan sepak bola. Ada anak ekskul sedang berlatih. Cowok itu menatap Yosep. "Lo ambil ekskul apa?"
"Sepak bola."
"Kenapa lo nggak ikut latihan?"
"Males," jawab Yosep tanpa beban.
Danil membuka tasnya sembari berjalan ke lapangan. "Ayo kita latihan," ajak Danil yang berhasil membuat Yosep mengernyit bingung.
"Emang lo ikut ekskul bola?"
"Mulai detik ini gue ambil ekskul bola." Danil meletakkan tasnya di pinggir lapangan, bersama tas murid lainnya yang bermain.
Yosep masih bingung dengan sifat tiba-tiba Danil. Sepertinya sekarang yang habis salah makan Danil, bukan Yosep.
🌇🌇🌇
Cowok itu mengedarkan pandangan ke gedung sekolah dan sisi lapangan. Menjadi anggota baru dalam ekskul sepak bola membuatnya jadi pusat perhatian pemain lain. Permainannya terbilang biasa saja, ditambah fokus cowok itu yang tak jelas di mana. Berkali-kali Danil terlihat menoleh kanan-kiri tak memedulikan bola yang ditendang ke arahnya. Dia juga berkali-kali mengecek arloji. Hal itu membuat Danil mendapat tatapan sinis dari pemain lain, untung saja pelatih tidak ada.
Tangga yang biasanya jadi tempat duduk penonton di sekitar lapangan menjadi pilihan Danil untuk istirahat. Ujung rambutnya basah berkeringat. Napasnya masih memburu karena berlari sedangkan cuaca masih panas.
Sodoran botol mineral dingin langsung disambut Danil. Yosep yang memberikan itu kemudian duduk di sampingnya. Dia memperhatikan Danil yang sedang meneguk air tak henti, kemudian berhenti saat sisa setengah. Lalu sisanya itu dia guyurkan di kepala.
"Lo kenapa?" tanya Yosep. Paham ada yang mengganggu pikiran Danil.
Danil mengecek arlojinya lagi, sudah satu jam setelah jam pulang, sudah pukul empat. Tanpa menghiraukan Yosep, Danil berdiri mengambil tas dan mencangklongnya.
"Gue ke perpus dulu!" teriak Danil pada Yosep. Cowok itu berlari tanpa menghiraukan teriakan Yosep yang bertanya sebenarnya ada apa.
Suara langkah Danil memenuhi bangunan sekolah. Untung saja perpustakaan di lantai dasar. Semua kelas sudah tak berpenghuni, membuat Danil semakin melebarkan langkahnya.
Cowok itu berhenti di depan perpustakaan yang tertutup. Napasnya yang tadi memang belum normal semakin tak teratur. Dia menunduk, menopang tubuh dengan tangan ditumpukan pada kedua lutut. Cowok itu meraup banyak-banyak oksigen dengan tergesa.
Tak mau lama-lama istirahat, Danil berdiri tegap dan membuka pintu perpustakaan. Pertama yang ditangkap oleh netranya adalah gelap. Lampu perpustakaan sengaja dimatikan, padahal biasanya selalu hidup karena sisi kiri ruangan tidak terkena sinar matahari dari jendela. Pikiran Danil semakin ke mana-mana. Perpustakaan sunyi.
Di mana Radea?
Danil tak menemukan siapa-siapa. Ia semakin masuk dan memeriksa setiap kursi dan lorong antara setiap rak. Danil masuk ke sisi kanan, pundak cowok itu langsung menurun melihat orang yang duduk dua meter di depannya.
Lega.
Dua orang murid sedang duduk berhadapan dipisahkan meja dekat jendela kaca yang terbuka. Terang.
Yang pertama Danil lakukan saat menemukan Radea adalah menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Menormalkan detak yang berlebihan. Cowok itu juga langsung duduk di kursi sampingnya, tak jauh dari Radea.
"Da-Danil?" panggil Radea tertahan. "Ngapain?" Ekspresi gadis itu tidak datar, tapi panik. Wajah Danil yang penuh keringat, seragam yang basah, berhasil membuat Radea bertanya-tanya.
"Mau belajar," jawab Danil singkat. Memang itu jawaban paling tepat saat ini. Mata Danil terarah pada Galang yang juga menatapnya. Kedua alis cowok itu terangkat.
"Kapan selesai?" tanya Danil lagi. Semua orang juga tahu bahwa dia berbohong saat mengatakan mau belajar.
"Ini udah selesai." Radea memasukkan bukunya ke tas.
Galang berdiri, mencangklong tasnya. Hal itu menarik perhatian Danil. "Gue duluan, Ra," pamit Galang. Dia melewati Danil dan menepuk bahu cowok itu. "Duluan, Bro."
Danil tak menjawab. Dia sudah tahu Galang memakai topeng yang tebal. Kemudian Radea berdiri, dia berhenti di depan Danil.
"Kamu nggak pulang?"
Ditanya seperti itu, Danil menyunggingkan senyum. "Ini mau pulang." Dia berdiri, senyumnya masih tergambar.
Radea berjalan lebih dulu di depan Danil. Ia beberapa kali ingin menoleh, tapi ragu. Danil yang sadar ketidaknyamanan gadis itu berjalan lebih cepat untuk mensejajarkan langkah mereka.
"Lo nggak pa-pa?"
Radea mengangguk.
Kedua tangan Danil berada di saku celana abu-abunya. Matanya lurus ke depan. "Hati-hati sama Galang. Jangan terlalu dekat."
Langkah Radea tiba-tiba berhenti, membuat Danil ikut menahan langkahnya. Ia menoleh pada cowok tinggi di sampingnya, sedikit mendongak. Rambut Radea yang biasanya menutupi pipi termundur, menampilkan jelas pipi putih dan bulat gadis itu.
Danil yakin, tak satu pun murid di sekolah ini yang pernah melihat wajah Radea sejelas ini. Tatapan polos tapi berisi keraguan gadis itu, pipi putih bulatnya, hidung mancung dan kecil, serta bibir mungil merah mudanya. Danil diam, terhipnotis beberapa saat dengan kecantikan Radea Tribuana.
"Kak Galang baik kok."
Tertarik kembali ke dunia nyata, Danil berkedip. Ia menarik datar kedua sudut bibirnya. "Jangan nilai orang cuma dari yang mata kita bisa lihat aja. Karena semua manusia nyoba nutup rapat sifat buruknya. Syukur-syukur kalau orang itu beneran berusaha lebih baik. Tapi kalau cuma supaya sifat buruknya nggak dilihat, ya ... kita nggak pernah tau seberapa buasnya dia." Danil menjitak pelan dahi Radea yang tertutup poni, membuat mata gadis itu spontan tertutup. "Gue bilangin, hati-hati sama Galang."
Mata Radea kembali terbuka, ia masih mendongak. Bibirnya mencebik, tak suka dengan hal yang coba Danil ucapkan tentang Galang. Namun gadis itu tak memerotes juga.
"Kalau kamu ... buas juga?"
Danil terkekeh. "Semua manusia punya sifat buas."
Kedipan dua kali dari Radea menjadi respons ucapan Danil. Gadis itu mengangguk ragu-ragu dan perlahan kembali menunduk. Danil tersenyum lagi, sembari membuang muka.
Seperti itu, Radea ... imut.
🌇
TBC
Gimana gimanaaaa?
Vote komennya yah. 💜
YOU ARE READING
Introvert VS Ekstrovert ✔️
Teen Fiction(TAMAT) Danil, anak baru yang kebetulan duduk sebangku dengan Radea. Cewek aneh yang tidak punya teman satu pun. Danil yang punya sifat mudah bergaul, terus mengganggu Radea dan bertekad agar gadis itu mau menjadi temannya. Semakin lama, Danil sada...
06 || Buas
Start from the beginning
