PROLOG

20 0 0
                                    


Bromo, jam menunjukkan pukul 00

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bromo, jam menunjukkan pukul 00.27 PM. 

Bintang mulai bertebaran memenuhi langit dan bersiap untuk karnaval kehidupan, Milky Way. Hiburan gratis untuk manusia-manusia yang mencari hiburan.

"Hidup ternyata bosenin ya?" 

Kenalin nama gue Safira Anandha, panggil aja Rara. gue sedang mandangin langit sambil tiduran di atas kap depan mobil bokap gue yang kami bawa kabur dari minggu lalu, mobil antik warna kuning, pomstar Toyota Corona keluaran tahun 1986. Masih bisa jalan walaupun kalo nanjak mesinnya suka kecapean, jadi harus berhenti-berhenti.

Ini sudah hari ke-sebelas semenjak gue mutusin kabur dari rumah, sekarang gue berapa di tengah savana yang amat luas nan indah di gunung Bromo, istirahat, mesin mobil sempet ngeluarin asap, kepanasan.

Gue anak pertama dari hasil perkawinan seorang pemilik sebuah perusahaan sepatu kulit dengan seorang perempuan karir, mereka jarang di rumah, sekali di rumah, waktu mereka abisin buat adu mulut, ada aja yang diributin. Jujur gue enggak terlalu peduli, asal uang jajan lancar, gue diam aja. Cuman semakin hari kuping gue enggak tahan denger ocehan mereka berdua, semakin memburuk.

Di sebelah gue ada Chandra Prayoga Pengestu lagi duduk juga mandangin langit, temen gue. Dia anak ke-tiga dari empat bersaudara, keluarganya kaya raya tapi sangat penuntut. Bokap sama nyokapnya menurut gue cukup baik kalo sama gue, tegas-lah, cuman saking tegasnya kadang kelewat batas, omongannya suka bocor apalagi sama si Chandra.

Ya bisa di bilang kita punya satu persamaan, keluarga yang enggak asik.

"Mau gimana lagi? Nikmatin aja-lah." jawab Chandra setelah beberapa saat

"Masa kalo kita diinjek kita nikmatin aja?"

"Maksud lu?"

"Tuhan."

"Apaan Tuhan?"

"Ngapain Tuhan ciptain kehidupan, gitu. Kalo enggak semua orang bisa bahagia?"

Gue liat Chandra melirik gue dengan heran tapi kemudian senyum samar-samar.

"Gue inget sesuatu, lupa siapa yang cerita, katanya dulu ada nabi yang nanya ke Tuhan, pertanyaannya mirip banget kayak pertanyaan lu tadi, dia bilang ..."

"Gue tau kok ceritanya."

Perkataannya Chandra gue potong, gue udah tau cerita itu, gue lupa nama nabinya, tapi dia nanya gitu ke Tuhan, katanya kenapa manusia diciptain kalo nanti juga dipilih-pilih mana yang masuk surga, mana yang masuk neraka. Tuhan enggak jawab, sengaja. Tuhan cuman ngasih benih dan nyuruh dia buat ditanam. Singkat cerita setelah nabi tersebut berhasil menanam benih dan jadi padi, terus panen. Nah waktu padi udah dipanen, si nabi ngambil cuman, beras-beras yang bagus, dan sisanya yang enggak bagus dia buang. Tuhan dateng tuh lalu nanya "Ngapain dipilih-pilih?". Si nabi mau jawab, pertanyaan yang mudah pikir dia, terus sebelum dia jelasin ke Tuhan dia keburu sadar, bahwa jawabannya itu sama dengan jawaban dari pertanyaannya kepada Tuhan. Terus si nabi jadi sadar dan minta ampun atas kelancangannya nanya-nanya gitu.

"Pertanyaannya, ngapain Tuhan ciptain manusia terus disuruh hidup di dunia? Maksud gue... kenapa enggak langsung aja gitu masukin ke surga semuanya? Jadi semua manusia bisa bahagia. Bukannya Tuhan Maha penyayang?"

Kali ini gue yang ngelirik Chandra, tapi dia cuman diam, Gue yakin dia dengerin omongan gue tadi, mungkin dia takjub aja liat Milky way secara langsung, gue juga sih, pertama kalinya liat ginian. Malam hari disini indah, apa gara-gara kami ada di Bromo ya. Hmm, alam ngerti banget caranya nenangin manusia yang lagi banyak pikiran.

Di Jakarta mana ada yang kayak gini, kayaknya bintang enggak suka sama riuhnya ibukota, atau gerah dan merasa terancam sama gedung-gedung yang tinggi menjulang, atau, Tuhan yang sengaja ngelarang bintang buat terlihat indah di kota-kota? biar manusia sadar, terus balik lagi ke alam? Idk, tapi malam yang indah kayak gini, sepi enggak ada orang, cuman dua orang yang saling ngerti, tanpa beban tanpa tuntutan, lepas dari kewajiban-kewajiban monoton sebagai manusia normal, ini waktu yang pas banget buat mikirin kehidupan.

"Tuhan sayang lagi. Kalo enggak sayang ngapain dia ngirim nabi buat bikin manusia bener? Ngirim Kitab suci biar manusia enggak tersesat?"

"Sebelum itu-lah Chan."

"Sebelum gimana?"

"Ya, jauh sebelum itu, maksud gue. Ngapain manusianya disuruh hidup disini? Enggak di surga aja? Oke gue setuju sama yang lu bilang tadi, dia kasih kita petunjuk. Tapi kan itu setelah dia masukin kita ke dunia? sebelumnya?"

Chandra lagi-lagi ngelirik gue, kali ini mukanya agak serius.

"Lu tau kan, cerita Adam kenapa dikeluarin dari surga?"

"Tau Chan, tau gue."

"Nah ..." belum juga dia abis ngomong keburu gue potong lagi

"Gue enggak setuju seratus persen sama cerita itu, ada yang aneh gitu. Gini ya, adam sama hawa makan buah khuldi karena digodain sama iblis nih? Terus Tuhan menghukum mereka buat hidup di dunia? gitu kan? Nah, kenapa enggak gini aja, Iblis masukin Neraka, kan udah beberapa kali tuh ngelanggar firman Tuhan. Adam sama Hawa diampuni, jadi di Surga aja. Lagian kan itu dosa pertama mereka."

"Buah khuldi kan diciptain Tuhan sebagai ujian buat penghuni Surga waktu itu, jadi Tuhan bisa tau mana makhluknya yang taat, mana yang enggak."

"Berarti Tuhan enggak se-Maha tahu itu dong?"

"Dia Maha tahu segalanya-lah, cuman kan biar makhluk-makhluk yang lain bisa tahu dengan mata-kepala mereka sendiri, jadi mereka juga ngerti kenapa makhluk ini di hukum, itu diberi gelar bagus. Jadi mereka bisa milih mau jadi baik atau buruk ... mungkin."

"Nah kan, lu juga pasti mikir kan, ada yang enggak beres? Aneh?"

"Enggak."

Chandra emang bilang "enggak" cuman gue yakin dia mulai berpikiran yang sama dengan yang gue pikirin tentang Tuhan. Mungkin ini obrolan yang sarkas dan sedikit tabu, tapi logis. Dan gue bukan manusia yang enggak tau bersyukur sama Tuhan, gue bersyukur, cuman kalo ada beberapa hal yang enggak masuk di otak gue, itu bakalan gue pertanyakan, sebelum gue dapet jawaban yang membuat otak gue puas, gue enggak mau diam.

Contohnya sekarang. Gue lagi di tempat yang baru, alam yang sangat indah, langit yang sangat menakjubkan, gue bersyukur bisa nikmatin ini semua. Tapi apa gue salah bertanya kritis tentang Tuhan yang enggak masuk di akal gue? Akal manusia yang Tuhan sendiri bilang kalo itu paling sempurna?

Gue pernah denger kalo manusia enggak seharusnya mempertanyakan firman Tuhan. Tapi Tuhan juga sering banget berfirman untuk mempergunakan akal kita, akal manusia. Makanya gue berani ngomong kayak gini, karena gue milih percaya sama firman Tuhan dari pada kata-kata manusia. Gue milih untuk berpikir, bertanya dan berpikir lagi.

"Hahahaa, ini keren sih." Tiba-tiba Chandra ketawa "Lu tau enggak ada firman Tuhan yang bilang " ... dan di waktu malam. Maka apakah kamu tidak berpikir?""

Gue senyum denger dia ngomong kayak gitu "Kebetulan?"

"Enggak-lah, mana ada yang namanya kebetulan di dunia ini, Ra. Semuanya udah ditulis sama Tuhan di... di mana? Oh iya, Lauhul Mahfuz. Lu boleh aja mempertanyakan Tuhan, itu hak lu sebagai manusia. Tapi gue yakin semakin lu serius cari jawabannya, lu bakalan semakin kenal sama Tuhan, makin cinta sama Tuhan."

"Cinta?"

"Iya cinta. Kenapa?"

"Hahaa, cinta ya? Menurut gue, cinta adalah salah satu omong-kosong yang ngebuang-buang waktu manusia."

"Kok gitu?"

"Iya emang gitu."

"Oke, berarti tugas gue selanjutnya adalah bikin lu percaya sama cinta." Gue liat Chandra kembali menerawang ke langit luas. Gue suka aja dia ngomong kayak gitu, tapi ini bukan karena gue cinta, menurut gue sih.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 10, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ES' FRORE : Escape From RealityWhere stories live. Discover now