Bab 10. Arco Iris, Negeri Sejuta Pelangi

25 3 1
                                    

Sejak kedua mataku terbuka, lalu kami turun dari pohon besar tempat peristirahatan, hingga kini melanjutkan perjalanan, hatiku tidak terasa baik-baik saja.

"Kamu lelah? Bilang saja kalau sudah tidak sanggup jalan, kami bisa kok meninggalkanmu sendiri di sini," sahut Aaron dengan sindiran menyebalkan seperti biasanya.

Kulihat Elior segera melirik kakaknya, lalu kaki mungilnya menghentak ke tanah, menginjak kaki pria menyebalkan itu.

"Aw!" keluh Aaron pada adiknya.

"Jangan begitu! Ingat pesan Ayah, Kak Aaron harus baik-baik dengan semua orang, terutama wanita. Ckckck, pantas saja tidak ada satupun yang mau menikah denganmu," bisik anak itu. Volume suaranya memang lebih kecil dari biasanya, akan tetapi aku masih bisa mendengar dengan cukup jelas.

"Hei, anak kecil!" jawab Aaron sambil mencubit hidung adiknya. "Asal kamu tahu, aku yang selalu enggan untuk dijodohkan dengan wanita manapun, bukan mereka yang menolakku," jawab Aaron latang. Lain dengan Elior pria itu sungguh tidak peduli jika aku mendengar ucapannya atau tidak.

"Iya, Iya!" ejek Elior seolah percaya dengan perkataan kakaknya. "Hei Mia, apa kamu lelah? Kalau kamu mau, kita bisa beristirahat sebentar."

"Ah, tidak. Aku tidak lelah, Elior. Terima kasih sudah bertanya dengan sangat sopan," jawabku sambil melirik Aaron. Sedikit berharap jika pria itu mau belajar cara berbicara dari adik kecilnya. Ia harus paham cara berkomunikasi yang baik jika tidak ingin dimusuhi oleh semua orang.

"Jika tidak lelah, kenapa wajahmu muram begitu?" tanya Aaron. Sedikit tak menyangka, ternyata makhluk menyebalkan ini cukup perhatian juga. Ingin sekali bibir ini menceritakan semuanya, tapi aku tidak tahu apa aku bisa mengungkapkan isi hatiku pada sosok imajinatif dalam mimpi. Apa aku boleh memberitahu mereka, jika aku bukan berasal dari dunia ini? Apa aku bisa bercerita tentang semua kesialan hidupku? Rasa sepi yang kuharap bisa lenyap saat aku berada dalam mimpi, ternyata masih sama seperti kenyataan.

"Hei, kamu tidak menjawab pertanyaanku," lanjut Aaron.

"Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya ...."

Pandanganku terpaku ke langit di atas, sadar bila kemuraman ini bukan hanya terjadi padaku seorang, tapi juga seluruh tempat ini. Tak ada cahaya matahari cerah, bahkan tiada pula langit biru pemberi harapan. Belum lagi asap kehitaman yang bergerak kesana kemari, bahkan terlihat semakin pekat dari semalam.

"Ah, aku tahu," jawab Elior. Anak itu menganggukkan kepalanya seolah dia mengerti isi hatiku. "Langit hitam ini, kan? Rasanya tak nyaman, dan membuat hati menjadi gundah, sedih. Mia tidak perlu khawatir, percayalah ini hanya sementara kok," lanjutnya dengan sebuah senyuman hangat. Senyum yang mampu memancarkan secercah harapan untuk hatiku yang kelam.

"Arco Iris bukan negeri suram seperti ini," lanjut Aaron. "Mungkin kamu belum tahu, tapi mereka memanggil kerajaan kami dengan sebutan negeri sejuta pelangi. Sebelum kejadian naas itu, langit kerajaan kami dipenuhi warna warni nan indah. Dari gunung sebelah sana hingga ujung lain di sebelah sini, kamu bisa melihat berbagai warna terbentang indah."

"Lalu, apa yang terjadi? Kudengar dari prajurit semalam, jika kegelapan ini muncul karena wafatnya Sang Raja."

Kulihat kedua bersaudara itu saling memandang. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka, tapi sepertinya kejadian ini sungguh membuat hati mereka gundah. Sama sepertiku mengungkapkan kesedihan pada orang asing, bukan hal yang mudah untuk dilakukan.

"Ayolah, bukankah kalian berhutang cerita padaku?" bujukku.

"Kisahnya panjang dan ... menyebalkan," jawab Aaron.

"Percayalah, aku pendengar yang baik," kataku untuk meyakinkannya.

"Perjalanan masih panjang dan kurasa tak ada salahnya untuk memberitahu Mia apa yang terjadi di sini," kata Elior.

Mimpi Mia SemalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang