Bab 4. Sebuah Misi Dengan Hadiah Besar

40 5 5
                                    

"Maaf, Pak Ketua, tapi... kenapa harus Mia?"

Aku tahu, tidak sewajarnya pertanyaan lancang semacam itu keluar dari mulut ini. Aku tidak bermaksud membuat siapapun tersinggung. Aku tahu, pastinya ketua dunia mimpi, tidak seperti ketua-ketua dunia nyata. Dia pasti lebih kompeten dan keputusannya tidak mungkin asal-asalan. Hanya saja... aku perlu memastikannya sekali lagi.

"Ehm," deham Pak Ketua. Dahinya mulai sedikit mengkerut saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku.

"M-maaf, aku tidak bermaksud meragukan keputusan Pak Ketua, hanya saja.... apa Bapak benar-benar memilihku untuk menjalankan sebuah misi penting? Aku takut... mungkin ada sedikit kesalahan. Segalanya mungkin, bukan? Bisa saja anak buah Bapak salah mengambil orang? Nama Mia cukup pasaran, dan pastinya tidak hanya aku seorang."

Kuperhatikan wajahnya dengan seksama. Matanya yang besar penuh cahaya keceriaan itu perlahan memudar. Ia tidak terlihat kesal karena tersinggung dengan perkataanku, guratan wajahnya lebih ke arah sedih dan kecewa.

"S-sekali lagi maafkan aku, Pak. Bukan maksudku untuk meragukan keputusan Bapak, hanya saja... apa Pak Ketua tahu orang seperti apa aku ini?" tanyaku sekali lagi.

Harus kuakui, sesungguhnya bukan Pak Ketua yang seharusnya meragukan keputusannya, tapi akulah yang tidak percaya pada diriku sendiri. Aku tidak tahu, kriteria apa yang dipakai Pak Ketua dalam memilih orang-orang yang menjalankan misinya, hanya saja... rasanya aku jauh dari kata sempurna.

Diriku yang sekarang ini, secara fisik maupun mental, tidak dalam kondisi terbaik untuk menjalankan kegiatan apapun. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana, tapi aku juga tidak mau Pak Ketua salah memilih orang untuk menjalankan misi pentingnya. Aku takut gagal dan membuatnya kecewa.

Kutunggu sedikit lama, tetapi aku tidak mendapatkan jawaban apapun. Pak ketua diam, ia mengunci bibirnya rapat-rapat. Hingga akhirnya, Guifi dan beberapa temannya terbang mendekatinya dan membisikkan sesuatu tepat di telinganya. Makhluk-makhluk itu mulai berbisik-bisik dan merundingkan masalah mereka.

Kurasa itu bagus, memang segala sesuatu perlu untuk didiskusikan. Kuharap Pak Ketua bisa bermusyawarah untuk menentukan solusi terbaik. Walaupun sesungguhnya, aku sedikit berharap bisa bergabung dalam pembicaraan mereka. Rasanya, sedikit kurang nyaman, jika makhluk-makhluk itu membicarakan hal tentangku, di depan kedua mataku sendiri.

Aku menunggu, dan menunggu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain itu. Hingga akhirnya Pak Ketua menghentikan pembicaraannya dengan para malaikat mimpi, kembali menatapku dengan senyum.

"Maaf, Mia, tapi sudah kupastikan tidak ada kesalahan. Kami sudah pikirkan semuanya berulang-ulang kali, dan... kesimpulannya tetap sama. Hanya kamulah yang bisa melaksanakan misi ini."

"T-tapi... kenapa?" tanyaku penasaran.

"Karena kamulah orang sempurna untuk menjalankannya. Percayalah, Mia kamu orang paling cocok untuk tugas ini. Jadi, kumohon, tolonglah! Bantulah kami menyelesaikannya," pintanya sambil memegangi tanganku dengan tangan besarnya. Sekali lagi sentuhannya terasa seperti magic. Hangat dan melegakan.

Pak Ketua berusaha untuk tersenyum, walaupun guratan kesedihan masih terpatri di wajahnya. Pria tua itu terlihat lebih pendiam, dan keheningannya membuatku lebih bingung dari pada sebelumnya.

"Apakah... misi ini penting bagi dunia mimpi?"

"Tentu," jawabnya sambil mengangguk.

"Memangnya apa yang terjadi? D-dan... apa yang harus kulakukan?" tanyaku serius.

"Kamu lihat bola mimpi berwarna hitam Itu, Mia. Bola itu bukan benda kosong. Ia itu berisi jiwa yang sedang bermimpi di dalamnya. Dan... jika bola hitam tidak segera diperbaiki, jika itu semakin menghitam, dan tidak kembali ke bentuk semula, aku khawatir bola itu akan retak bahkan pecah. Kami... tidak bisa membiarkan itu terjadi," jawab Pak Ketua lirih.

Mimpi Mia SemalamWhere stories live. Discover now