PASAL CINTA SAFINAH

32 1 2
                                    

Hujan selalu tentang rindu. Bagitulah kata orang-orang saat ini. Terutama anak milenial. Aku akui, itu memang ada benarnya. Walau aku tidak terlahir pada generasi milenial sekalipun. Setidaknya aku juga merasakan rindu saat hujan deras.

Rindu saat berangkat sekolah jalan kaki karena hujan. Sepatu dan kaos kaki dibungkus plastik lalu dimasukkan ke dalam tas. Tangan kanan memegang pelepah pisang untuk berteduh. Sedang tangan kiri bersiap-siap jika ada jalan licin atau berubang. Lalu saat tiba di sekolah, lantai kelas tergenang air. Kemudian sekolah diliburkan saat itu juga. Dan akhirnya kita main sepak bola di halaman sekolah. Huh, rindu sekali momen itu... Hahaha

Begitulah. Salah satu penafsiranku tentang rindu. Dulu aku masih duduk di bangku SD. Jadi momen itu selalu membuatku rindu. Aku rasa penafsiran itu tidak salah. Hanya saja sekarang waktu dan tempat sudah merubah segalanya.

Termasuk arti rindu. Sekarang rindu dikaitkan dengan orang yang lagi jatuh cinta. Entah jalan bareng kekasihnya. Atau makan berdua dengan diiringi alunan derasnya hujan. Atau apalah. Dan ujung-ujungnya bilang, "Hujan 1 persen air 99 persen kenangan". Hah..

***

Aku kenalkan seseorang, namanya Babara. Teman sekelas di SD dulu. Dia selalu jadi juru kunci saat ulangan. Terutama ulangan kenaikan kelas. Dan dia suka tidur saat pelajaran berlangsung. Tapi jangan salah..! Dia sejak kecil sudah punya pekerjaan tetap. Penghasilannya setiap hari lagi. Dia bekerja sebagai petani, penghasilannya keringat setiap hari... wkwkwk~

Saat kelas lima dia suka banyak siswi. Di kelas kami saja banyak yang cantik, tapi semua menolak cinta Babara. Ya mau bagaimana lagi, dia terkenal pemalas yang suka tidur dan pemegang rekor juru kunci ulangan kalau di kelas. Lalu dia mencari yang bukan sekelas. Dan dia berhasil, dapat kakak seniornya. Dia suka siswi kelas enam. Satu tingkat di atasnya.

Tanpa pikir panjang, dia mengambil kertas dengan menyobek buku tulisnya. Setelah itu dia menuliskan "Aku Suka Kamu" dan melipat kertas itu membentuk hati. Keren bukan? Entah dia belajar dari mana. Aku yang masuk nominasi tiga besar saat ulangan saja tidak bisa.

"Kok bisa? Ajarilah...!", pintaku.

"Aku hanya bodoh dalam pelajaran. Bukan permainan dan pengalaman" jawabnya sambil mengulurkan lidahnya kepadaku.

"Nih kamu yang ngasih surat ini ke Alana", lanjutnya sembari memberikan kertas itu padaku.

Dasar. Padahal dia paling pemberani di kelas. Dia pernah adu mulut juga dengan guru. Boleh lah dia dibilang anak nakal. Dia juga sudah merokok. Tapi setidaknya dia mau aku ajak ngaji. Walau kadang-kadang pula dia berangkat, lebih seringnya tidak berangkat. Aku yakin, dia pasti akan berubah nantiya, entah kapan.

Kemudian aku mengantarkan surat itu ke Alana. Dia siswi yang cuek sebenarnya. Pendiam. Pemalu. Seperti rumor yang telah beredar di sekolah. Saat aku bertemu dengannya pun aku akhirnya tau. Ternyata berita selama ini bukan hoax. Saat aku kasih surat bahkan dia tidak tanya dari siapa. Parahnya, dia langsung pergi setelah menerima kertas itu. Bodo amat lah. Tugasku hanya mengantarkan surat itu. Dan kembali ke kelas.

Babara ternyata sudah menungguku. Dia berdiri di depan pintu dan langsung menanyakan respon Alana.

"Suruh tunggu, sabar..!" jawabku sambil tersenyum kebohongan ke arahnya. Aslinya Alana sama sekali tidak merespon. Bilang terima kasih pun tidak. Alana memang sosok yang misterius di sekolahku. Andai saja Madam Shirley bisa aku temui di dunia ini. Aku akan tanya banyak hal tentang Alana. Dan hubungan temanku Babara, dengan Alana. Sayangnya Madam Shirley hanya ada dalam kisah Fishman Island. Halah, yang penting Babara sudah gembira dengan kebohonganku. Hahahah...

Nah, hari berikutnya, balasan pun tak kunjung datang. Alana benar-benar apatis. Tapi Babara orang yang tak kenal kata nyerah. Dia menulis lagi. Kali ini buku tulisku yang disobek dan dijadikan karyanya. Dan lagi-lagi aku bertugas sebagai tukang pos.

Lagi dan lagi, tanpa balasan. Hari seterusnya pun begitu. Dan Babara juga mengulanginya terus disetiap harinya. Hingga aku yang jadi dekat dengan Alana. Dan aku berhasil membuat Alana merubah sikapnya. Tapi dia begitu hanya pas di depanku. Berpapasan dengan Babara saja tetap cuek. Prasangka ku dia suka dengan ku. Wkwkwk.. Busuk.

Profesi sebagai tukang pos ternyata asik. Aku bisa ngobrol banyak dengan Alana. Ternyata dia asik. Dan jika aku boleh menyarankan, jangan dekat-dekat dengannya. Nanti bisa jatuh cinta. Sepertiku. Semakin dekat. Bahkan aku jadi tau rumahnya. Dan Babara belum tau semua itu. Namun akhirnya aku membujuk Alana untuk membalas surat dari Babara. Katanya kertas yang selama ini diberikan Babara ternyata tidak dibaca. Setelah aku bujuk, Alana membalas suratnya.

Usai ujian semester satu, Babara dan Alana baru berbalas surat. Dekat. Dan semakin dekat. Kadang juga waktu istirahat mereka ngobrol. Sampai menjelang Ujian Nasional, Babara hadir sebagai penyemangat Alana. Mereka tampak serasi. Aku jadi seperti ada dalam kisah Romeo dan Juliet. Babara juga sudah memecatku dari profesi sebagai tukang pos.

Waktu berjalan istiqamah. Hingga begitu cepat. Aku dan Babara juga sudah kelas enam. Dan Alana sudah masuk SMP favorit, katanya Babara. Tapi Babara dan Alana selalu komunikasi, lewat FB. Sebab, HP di kampung kami belum terjangkau. Warnet sudah ada banyak. Dan peminatnya masih sedikit. Biasanya hanya ada mahasiswa atau orang tua yang sedang mengerjakan tugas di warnet.

Ujian tengah semester segera berlangsung.

"Alana sudah menikah, sudah punya suami", secara tiba-tiba dia mengucapkan berita mengagetkan kepadaku. Alana ternyata sudah menikah tiga bulan setelah dia masuk SMP. Aku dan Babara dapat info terlambat. Aku juga tau karena Babara.

Tapi aku tidak heran jika itu terjadi. Alana manurutku sosok wanita yang cantik. Rambutnya yang mengurai panjang melebihi bahunya. Matanya yang sipit bak artis Korea. Ditambah lesung pipinya yang menawan saat senyum. Giginya juga miji timun. Tubuhnya yang langsing dan tinggi. Apalagi suaranya yang serak-serak basah. Siapa coba yang tidak tertarik padanya?

"Seharusnya kamu nunggu baligh dulu baru pacaran...!" ujarku menasehatinya. Sembari menepuk pundak Babara.

"Iya, tiga tahun lagi bukan? Dalam kitab Safinah?", jawabnya sambil pergi ke ruang ujian.

Aku terdiam keheranan. Dia bahkan mampu menyebutkan nama kitab sebagai acuan omongannya. Sejak kapan dia mengaji?

(Bersambug) 

Bantul, 09 Desember 2018

Ahmad Sangidu   

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 09, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

WAQAF & IBTIDA'Where stories live. Discover now