3

3.4K 313 6
                                    

Hari senin ini aku telah kembali pada rutinitasku, begitupun dengan kak Fajar yang masih saja sibuk dengan latihan pagi dan sore.

Setelah menyelesaikan kegiatan sekolah yang membuat penat ini, aku segera menuju tempat latihan club untuk latihan. Aku berangkat dari sekolah bersama Alvaro yang kebetulan satu sekolah denganku.

"Cepet coy, gue kebelet berak nih!" teriak Alvaro dari parkiran motor. Aku berjalan menghampirinya sambil sibuk membenarkan tas berisi raket itu.

Aku tertawa melihat ekspresi Varo yang jelek, mukanya pucat dan mengkerut menahan sakit. "Jelek banget ih!"

"Sialan lu, gue tinggalin baru tau rasa."

"Ih galak! Yaudah ayu cepet!"

Aku menaiki motor Varo yang lumayan tinggi setelah memakai helm yang diberikan olehnya. Dalam waktu sepuluh menit, kami sudah sampai di gor yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah.

Disana sudah ada beberapa temanku, salah satunya ada Ester yang sudah berganti baju dan memakai sepatunya.

"Jadian bukan sama si Varo?"

Aku yang sedang meminum air putih langsung tersedak akan pertanyaan Ester yang tiba-tiba.

"Buset santai!" Ester tertawa. "Bener ya? Sampe kaget gitu"

"Enggak ih! Gue sama dia sahabat deket dari smp kok."

Ester hanya mengiyakan, tapi wajahnya seakan mengejekku. Sebetulnya bukan hanya Ester yang mengira aku dan Varo berpacaran, wajar saja karena kami kemana-mana selalu berdua. Aku juga mendengar dari teman-teman kalau Varo memang menyukaiku, entah kenapa aku tidak memiliki perasaan apapun dengannya. Sejujurnya Varo memang tampan, bahkan di atas rata-rata, perlakuannya pun sangat baik padaku.

"Nanti balik sama gue kan?" tiba-tiba Varo menghampiriku yang sedang beristirahat setelah melakukan 5 set tadi.

Sebelum aku menjawab pertanyaan dia, sebuah telfon menginterupsi kami. Tumben banget kak Fajar nelfon jam segini.

"apa kak?"

'Gue di depan tempat latihan lu nih, nanti kita jalan dulu beliin gebetan gue kado, oke?'

"Besok masih sekolah ih!"

'Gaada penolakan, gue bawa mas Jom juga nih, seneng ga?'

"b aja"

'Buset galak. Pokoknya gue udah di depan nih, gpl ye"

Telfon aku matikan.

Varo menatapku, masih menunggu jawaban. Aku dengan berat hati menolak ajakannya.

"Maaf ya Var, gue di jemput kak Fajar."

Muka Varo murung, "yah, yaudah deh lain kali lagi ya, Bel."

Varo kemudian meninggalkanku sendiri. Aku kembali latihan bersama Ester, kebetulan aku di pasangkan olehnya di ganda putri club kami.

"Kenapa tuh si Varo murung? Lu tolak ya?" Ester masih saja meledekku.

"Apasih, gue tempol beneran ya lu Cel!"

Ester tertawa geli.

Latihan selesai sekitar habis maghrib. Aku segera berganti baju menjadi celana jeans dan kaos, juga sendal micky mouse yang kubawa kemanapun. Memakai sendal lebih nyaman, apalagi setelah latihan yang membuat kaki lelah.

Aku berjalan menuju mobil kak Fajar yang terparkir tidak jauh dari pintu masuk.

"Mau kemana sih?" tanyaku saat sudah masuk ke mobil. Aku menempati jok belakang karena di depan sudah ada kak Rian.

"Kemana-mana," jawab kak Fajar sambil menyalakan mesin mobil. "Mumpung ayah sama bunda ga di rumah, gue culik lu buat jalan-jalan, harusnya lu seneng dek."

Aku hanya memutar bola mata malas. Kak Rian di depan tetap diam tidak mengeluarkan suara. Lagian kok dia mau aja disuruh temenin kak Fajar buat nemenin dia yang gabut gini, aku sih mending diem di asrama dan tidur.

Kami sampai di sebuah mall terdekat, rencananya kak Fajar mau belii gebetannya kado karena bentar lagi ulang tahun. Dan aku disini sebagai alat ukur karena katanya, ceweknya kak Fajar  tubuhnya seukuran denganku.

"Nih dek pake ini satu-satu, nanti kalo udah ganti keluar," ujar kak Fajar sambil memberiku lima sweater untuk aku coba. Menyebalkan.

"Kurang banyak?" sindirku.

Kak Fajar hanya tertawa jahat, dia mendorongku masuk ke ruang ganti.

Aku mencoba pakaian pertama dengan kesal, tak henti-hentinya aku mengutuk kak Fajar yang kelewat menyebalkan. Kemudian aku keluar dan mendapati kak Fajar dan kak Rian yang sudah siap menilai sweater yang kupakai.

"Coba yang lain dek."

Aku menghela nafas kesal dan terus mengganti sweater hingga sweater terakhir. Ujung-ujungnya kak Fajar memilih sweater yang pertama aku coba, rasanya ingin aku kentutin depan muka.

"Beliin aku yang ini dong kak!" ujarku sambil menunjuk sweater ketiga yang sempat aku coba.

"Kaga ada duit bel," jawabnya beralasan. Emang kalo buat gebetan tuh lebih penting ya daripada buat adeknya sendiri.

Aku duduk sendirian di kursi sambil menunggu kak Fajar untuk membayar sweater. Sedangkan kak Rian tadi memisahkan diri, entah ingin apa.

Setelah urusan kami selesai, kami menuju mobil untuk segera pulang karena hari sudah malam, aku juga masih harus sekolah besok.

Sampai di rumah, kak Fajar tidak langsung balik ke Pelatnas. Dia mau makan dulu karena sedari habis latihan gak sempet, keburu otw buat jemput aku, katanya.

Aku hanya memasak nasi goreng dengan telur mata sapi. Kebiasaan di rumah sendiri menuntutku untuk bisa masak, karena kalau engga aku makan apa dong.

Setelah makan, kak Fajar memasuki kamarnya di lantai dua untuk mengambil beberapa barang. Di ruang makan hanya tersisa aku dan kak Rian yang lagi mencuci piring bekas makan miliknya.

"Padahal aku aja kak yang cuci," ujarku saat aku ingin mencuci piring juga.

"Gapapa, kasian kamu capek."

Kak Rian menyelesaikan bagiannya, lalu bergantian denganku. Dia kembali untuk menonton tv di ruang keluarga, meninggalkanku sendirian. Tapi ternyata dia kembali dengan membawa paper bag berisi sweater yang aku inginkan tadi.

"Ini buat kamu, hadiah sweet seventeen dari saya," ujarnya dengan senyum manis.

Aku agak terkejut, gak nyangka bakal dikasih kado. Padahal kak Fajar aja kasih kadonya cuma ajak aku ke Pelatnas.

"Makasih banget kak!" aku bersorak kegirangan.

"Dipake terus ya, jangan lupa!"

Aku mengangguk dengan semangat. Kak Rian mengelus rambutku layaknya seorang pacar, jujur saja aku lumayan di buat baper karenanya.

"Kamu kalo mau apa-apa bilang saya aja, tau sendiri kakak kamu pelit," kak Rian tertawa lucu. "Kamu udah saya anggap kaya adik sendiri, jadi jangan sungkan oke?"

Mendengar kata 'adik', kok rasanya dadaku terasa sakit.

Mind ; Rian ArdiantoWhere stories live. Discover now