4 Aktualisasi Diri

Mulai dari awal
                                    

"Saran gue sih, Kar. Lu jangan terlalu deket sama dia. Dia itu, ular bermuka dua, lidahnya panjang"

Kening Karina berkerut samar, "Lu gak salah maksud orang, kan, Mith?"

Mitha menggeleng santai, "Enggak, lu percaya aja sama gue"

"Gimana gue bisa percaya sama elu, kalo mata gue, yang gue yakin normal tanpa minus atau silinder kayak yang lu punya, lihat cowok yang senyum dan ketawanya lepas banget. Bahkan gak keberatan gendong bocah yang mata nya sembab dan kepalanya diperban"

Deskripsi itu terasa nyata. Mitha mengikuti arah pandang Karina. Pria berbalut snelli tengah asik bercanda dengan bocah empat tahun yang kepalanya dibalut perban.

"Jadi.. Iron Man itu, sepatunya punya roket kecil. Dia bisa terbang tanpa harus punya sayap. Bagas kalau mau bisa terbang kayak Iron Man, belajar yang pintar supaya bisa buat sepatu yang ada roketnya"

"Emang gak ada yang jual sepatunya ya, Om Dokter?"

"Om Dokter gak tau, yang penting, besok-besok, Bagas jangan terjun dari balkon lagi ya. Kasihan kepalanya."

Sang Ibu yang mengantar hanya geleng-geleng kepala. Entah merasa heran, atau miris dengan apa yang ada di imajinasi anaknya.

Mitha dan Karina mematung ditempat. Hanya bola mata yang refleks bekerja mengikuti arah dokter dan pasien itu berjalan. Dari netra miliknya, Mitha melihat Bima menurunkan pasiennya dari gendongan dan melambaikan tangan pada bocah itu serta ibunya yang tengah masuk lift hendak turun menuju lobby.

"Eh.. ada Mbak Karina." Bima kini menyapa Karina. Mereka saling sapa dan bercanda layaknya teman lama yang bertemu kembali setelah jutaan abad berpisah.

Heboh banget, norak. Batin Mitha.

"Keren banget, Mbak, desainnya. Anak-anak suka" Puji Bima pada Karina seraya menepuk tangannya kencang, setelah mereka selesai bertegur sapa dengan mode heboh.

"Anak-anak suka, tapi tetep aja gak ada yang mau diajak tidur disini" Karina dan Bima menoleh bersamaan pada sosok yang hampir saja tidak terlihat, atau memang mereka anggap tidak ada?

"Ah.., Bu Mitha bisa saja. Setidaknya, mereka tidak perlu takut saat harus dipantau kesehatanya disini"

Ada senyum manis yang Bima sematkan di wajahnya. Karina yang supel dan selalu bersahabat itu, sungguh bisa cepat nyambung dengan dokter pecicilan ini. Berbeda dengan Mitha yang... ah, sudahlah. Malas mengingat kalimat yang pernah Mitha dengar dari Pungki dulu.

"Dokter Bima.." Bima menoleh pada seorang ibu yang tengah berjalan mendekati dirinya.

"Owh, Hai Feliciaa..., kok tambah cantik ya?" Tanya Bima semangat pada bocah enam tahun yang tengah tersenyum malu-malu.

"Iyalah tambah cantik, kan baru lepas perban dan benang jahitan. Makanya jangan pecicilan lagi di sekolah.. kepentok lemari sobek deh tu jidat" omel si Mama.

"Tidak apa ya Feli.., kan jadinya kita bisa bertemu karena kecelakaan itu," tukas Bima, "Tak usah sedih. Felicia tetap cantik kok. Dokter Bima suka sama rambut Feli, panjang dan indah seperti Rapunzel" Feli tersenyum malu-malu tapi bangga dan Bima tersenyum seraya mengelus rambut panjang Feli.

Owh.. ember mana ember.. Mitha mau muntah! Wajahnya sudah pucat seperti sedang terkena racun gas berbau tajam. Ia bukan sedang dilanda gejala hamil muda. Hanya saja, episode 'Om-om memuji rambut hitam lebatku' yang sedang live itu sangat menjijikkan dimatanya.

Sedang Karina, bersusah payah menahan tawa atas ucapan lebay teman barunya ini. Bagaimana bisa pria dewasa seperti Bima bisa all out memuji bocah enam tahun.

Pramitha's Make Up ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang