Prolog: Once Upon A Time

Start from the beginning
                                        

"Iya dan kamu tetap bisa pacaran dengan Cakalang itu lagi?" sindir Tuan Hardiyanta memotong kalimat Savara dengan cepat. "Begitu, kan, maksud kamu?"

Savara memanyunkan bibirnya saat meralat, "Cakara, Ayah. Bukan Cakalang." Raut wajahnya berubah sedih dalam sekejap dan hatinya kembali sesak, teringat kembali akan pengkhianatan sang mantan kekasihnya itu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan negosiasi, meskipun dia tahu hal itu tidak akan mengubah keputusan ayahnya. "Lagi pula, kami sudah putus. Jadi Ayah nggak perlu khawatir—"

"Bagus kalau begitu," potong Tuan Hardiyanta cuek. "Akhirnya anak Ayah sadar juga kalau dia tidak baik untuk kamu."

Savara semakin memberengut mendengar sindiran Tuan Hardiyanta. "Tapi, Yah, aku masih ingin menikmati masa-masa kuliahku. Nanti aku juga mau lanjut S2 di luar negeri. Masa depanku masih panjang. Kalau aku menikah sekarang, aku bakal kehilangan semua itu," lanjutnya setengah merengek.

"Tentu saja kamu masih bisa bersenang-senang." Nyonya Hardiyanta menahan tawa mendengar kalimat terakhir anak perempuannya yang menurutnya lucu. "Memang siapa yang bilang setelah menikah kamu akan kehilangan semua hak-hakmu itu?"

"Bukan begitu maksudku, Bun." Savara meringis, kesal.

"Bunda dulu juga masih muda sewaktu menikah dengan Ayah." Tuan Hardiyanta menimpali, lagi. "Malahan Bundamu menikah sewaktu umurnya masih tujuh belas tahun."

"Tapi, Yah...." Savara beralih menatap ayahnya, mendadak frustasi. "Bagaimana aku bisa jadi seorang istri? Aku saja belum kenal, bahkan tampangnya bagaimana juga aku pun belum tahu. Bagaimana bisa aku hidup sama dia? Bagaimana bisa aku hidup dengan orang yang nggak kucintai? Memangnya Ayah dan Bunda mau aku kenapa-kenapa? Kalau dia jahat sama aku nanti, bagaimana?"

"Savara sayang...." Nyonya Hardiyanta mencoba memberi pengertian. "Kamu pikir almarhum Eyang Bapak, Ayah, Bunda nggak me-review detail calonmu itu dulu? Kamu kira kami langsung setuju begitu saja? Tentu kami juga harus melihat dan menilai bibit, bebet, dan bobotnya," katanya. Lalu, ia menoleh ke arah suaminya dan tersenyum lebar. "Bunda dan Ayah juga dulunya nggak saling mengenal, tapi kami bisa saling jatuh cinta." Lalu ia kembali menatap Savara. "Bahkan nggak lama setelah itu, kamu muncul mengisi kehidupan kami."

Savara memberengut semakin dalam mendengar penjelasan tersebut. Mengapa sulit sekali ia meluluhkan hati kedua orangtuanya? Terkadang, ia sendiri juga tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka. Di zaman yang sudah modern seperti ini, mengapa mereka masih mau saja dibodohi oleh aturan dan tradisi semacam itu.

Tuan Hardiyanta menyilangkan sendok dan garpu di atas piringnya, lalu bangkit dari kursi. "Lebih baik kamu segera bersiap."

"Tapi Yah—"

"Cukup Raden Ayu! Ayah tidak mau mendengar kata tapi lagi." Seruan tegas Tuan Hardiyanta membuat Savara membisu dalam sekejap. Kalau ayahnya sudah memanggilnya dengan nama Raden Ayu, artinya ia tidak punya pilihan selain menerima dengan pasrah. "Satu jam lagi, kita akan pergi menemuinya," lanjutnya sebelum pergi dari ruang makan.

Savara menundukkan kepala begitu Tuan Hardiyanta melewatinya. Beginilah tidak enaknya menjadi anak yang dididik dan dibesarkan dengan tata krama sedari kecil. Sulit baginya untuk menyuarakan isi hati yang sudah sangat ingin meledak. Ia benar-benar harus mengungkapkannya sesopan mungkin jika itu berhubungan dengan orangtua, para tetua, maupun keluarga besar. Dan satu lagi, ia juga tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti dua minggu yang lalu, yang telah menyakiti hati kedua orangtuanya, terutama ibunya.

Ya, karena ingin menolak perjodohan itu, Savara jadi mengikuti saran dan arahan dari teman-temannya untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan dalam hidupnya, seperti kabur dari rumah, mogok makan, mengunci diri tidak keluar dari kamar beberapa hari, hingga yang paling ekstrim mengancam akan bunuh diri. Namun hal itu tidak ada yang berhasil dan ia sendiri yang pada akhirnya malah merasa bersalah jika mengingat perkataan ibunya yang selalu terngiang-ngiang hingga kini.

Aku membesarkanmu bukan untuk menjadikanmu sebagai anak durhaka, Sayang. Aku tahu perasaanmu karena seperti itulah perasaanku dulu saat berada di posisimu. Maafkan aku dan ayahmu yang membuat takdirmu harus berjalan seperti ini, ya. Andai kamu bukan anak kami, kamu mungkin bisa lebih bahagia....

Nyonya Hardiyanta langsung menghentikan makannya begitu melihat kesedihan di wajah Savara. Sebagai seorang ibu, sebenarnya ia ingin putrinya bahagia dengan pilihannya sendiri. Namun, mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa berbuat apa-apa kalau hal itu berkaitan dengan aturan dan tradisi keluarga sejak turun-temurun. "Kamu nggak usah khawatir. Kami nggak akan sembarangan memilihkan calon suami untukmu, Sayang," katanya, mencoba menenangkan Savara. "Bunda sudah bertemu beberapa kali dengannya dan Bunda yakin kamu akan jatuh cinta setelah melihatnya."

Entah hanya perasaan Savara saja atau tidak, ia menangkap ada nada menggoda dalam suara ibunya. "Memang siapa dia?" tanyanya tanpa minat.

Nyonya Hardiyanta tersenyum, setengah geli. Ia lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan agar Savara bisa mendengarnya lebih jelas. "Seseorang yang mungkin pernah kamu kenal," bisiknya pelan, masih dengan nada menggoda.

Savara mengerjap, tetapi sudah terlambat jika tak ingin terlihat kaget. "Ha? Siapa?!" tanyanya, berubah penasaran.

Nyonya Hardiyanta mengerling, ada ekspresi jail di wajahnya. "Hmm, kayaknya tadi ada yang kesal banget, tapi kenapa sekarang jadi berubah tertarik, ya?"

"Bunda!"

Nyonya Hardiyanta tertawa melihat ekspresi yang ditunjukkan putrinya. "Tebak," katanya, semakin senang menggoda.

Savara mematut dagunya sambil berpikir. Namun, siapa pun nama lelaki yang terlintas di kepala malah membuat bulu kuduknya meremang. "Entahlah. Aku nggak bisa membayangkannya." Suaranya merendah, menjadi bisikan ngeri. "Ayolah, Bun, apa susahnya sih kasih tahu siapa dia? Jangan buat aku penasaran plus takut begini."

Namun Nyonya Hardiyanta lagi-lagi hanya mengulum senyum sebagai jawabannya. "Nanti juga kamu akan tahu."

♡♡♡

You're (not) My Prince!Where stories live. Discover now