Savara Addiva Hardiyanta adalah seorang gadis yang masih memiliki garis keturunan bangsawan. Bisa dibilang, ia adalah seorang putri keraton modern saat ini, di mana kehidupannya tak banyak berbeda dari orang lain.
Hanya saja, meskipun pandangan hidu...
Pada suatu kala, di sudut Utara kota Jakarta, hiduplah seorang putri keturunan ningrat bernama Savara Addiva Hardiyanta. Meskipun berdarah biru, ia hidup layaknya gadis-gadis lain di luar sana. Sudah lama keluarga besarnya menanggalkan kehidupan feodalisme ala kerajaan. Ia bersama keluarganya—Ayah, Ibu, serta satu asisten rumah tangga—tinggal di sebuah rumah bertingkat dua, bergaya modern dengan pintu kayu yang kokoh, jendela berkaca, dan dinding beton dilapisi cat warna cokelat susu. Desain interior di setiap ruangannya berkonsep minimalis, dari lantai keramik, hingga berbagai perabotan; mulai dari sofa, meja, kursi, lemari, dan lain sebagainya.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Jika malam tiba, Nyonya Hardiyanta sering menceritakan sebuah kisah untuk putri tunggalnya sebagai pengantar tidur. Kisah-kisah yang tak akan pernah membuat Savara bosan adalah kisah tentang seorang putri dan pangeran yang selalu berakhir bahagia. Dalam setiap kisah yang didengar, Savara selalu mempercayai satu hal. Baginya, menjadi seorang putri adalah suatu keberuntungan karena bisa bertemu, kemudian hidup bersama dengan seorang pangeran yang dicintai. Begitulah pemikirannya dulu, sebelum ia mengerti kalau kisah putri dan pangeran seperti itu hanyalah terjadi dalam dongeng.
Karena pada kenyataannya, kisah putri yang sesungguhnya tidak sesederhana itu. Meskipun Savara telah menjalani kehidupan normal, ia tetaplah seorang putri yang harus tunduk pada tradisi maupun aturan yang telah dibuat oleh para tetua sebelumnya.
Termasuk, dengan tradisi perjodohan.
Di hari ini—bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke dua puluh, Savara akan dipertemukan dengan lelaki yang akan menjadi calon suaminya. Hari yang seharusnya menjadi hari paling indah dalam hidupnya, tetapi kali ini akan menjadi mimpi buruknya.
Banyak yang mengatakan, usia dua puluh tahun adalah usia yang sangat spesial sekaligus krusial karena usia tersebut menjadi tolok ukur kedewasaan. Fase di mana seseorang mulai diberi kepercayaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Secara psikologis, seseorang yang menginjak usia dua puluh tahun akan dianggap sudah cukup mampu dalam hal perencanaan dan pengambilan keputusan, termasuk dalam hal memilih pasangan hidup.
Namun, semua itu tidak berlaku di keluarga Hardiyanta.
"Kamu sudah tahu, kan? Hari ini, kami akan melakukan apa yang kami, juga Eyang Bapak dan Eyang Ibumu lakukan."
Yang diajak bicara tidak bereaksi apa pun dan terus melahap makanannya dengan tenang.
Tak lama suara lain terdengar, kali ini lebih lembut khas seorang ibu. "Sav, Ayah sedang bicara padamu."
Savara menghentikan kegiatannya, lalu menatap Tuan Hardiyanta dengan wajah merengut. Meskipun ayahnya belum melanjutkan ucapannya, tetapi ia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan itu akan berujung. Perjodohan yang akan segera terlaksana dalam hitungan jam. "Tapi aku masih terlalu muda untuk menikah, Ayah. Memangnya perjodohan ini nggak bisa ditunda beberapa tahun lagi?" protesnya langsung. "Minimal tunggu sampai aku lulus kuliah dulu—"