2. Terlalu dekat.

19.2K 1K 22
                                    

Waktu berlalu secepat angin. Lima belas tahun terlewati begitu saja. Rasanya baru kemarin ibunya menggandeng tangan Aimee memasuki rumah ini, tapi sekarang, Aimee yang menggandeng ibunya memasuki rumah ini.

"Hati-hati, bu."

"Kau tidak perlu sekhawatir itu, Aimee."

Aimee menuntun ibunya untuk duduk di kursi meja makan di dapur. "Itu jelas mustahil, aku tidak bisa tidak khawatir. Ibu seharusnya masih berada di rumah sakit." Aimee duduk di samping ibunya. "Ibu harus istirahat total."

Reiko tersenyum lembut. Dibelainya puncak kepala Aimee. "Aku bisa istirahat di sini, aku tidak begitu menyukai rumah sakit, kau tahu."

"Aku tahu. Karena itu ibu memaksa pulang."

Aimee mempoutkan bibirnya kesal, membuat Reiko mencubit gemas pipi gembil anak gadisnya. "Ibu janji, ibu tidak akan berkerja terlalu keras lagi. Sekarang biar aku yang mengurus semuanya." ucap Aimee, tangannya memijat lengan Reiko lembut.

"Baiklah gadis cerewet, aku akan banyak istirahat sebanyak yang kau mau."

"Bagus." Aimee tersenyum, membuat matanya membentuk bulan sabit.

Beberapa hari yang lalu, Aimee menemukan ibunya tergeletak tak sadarkan diri di kamar mereka. Dokter bilang ibunya terkena serangan jantung, dokter juga bilang, jika saat itu terlambat sedikit saja Aimee sudah pasti akan kehilangan ibunya.

Beberapa saat kemudian, Bibi Claire datang. Wanita dengan tubuh tambun dan rambut merah. Dia kepala pelayan di rumah ini.

"Reiko, kau sudah pulang rupanya." ucapnya. Senyum mengembang di wajah Claire dia memeluk Reiko sekilas. "Bagaimana keadaan mu, sudah lebih baik."

"Sudah. Dokter bilang aku hanya harus istirahat."

"Istirahat yang banyak." Aimee menambahkan dengan cepat. Membuat Reiko dan Claire tertawa kecil. "Iya, istirahat yang banyak. Oh ya, Aimee. Tuan muda memanggilmu."

Senyum Aimee luntur, tanpa sadar tangannya menggenggam erat tangan Reiko. Setiap orang itu memanggilnya beginilah reaksi Aimee. Padahal sudah lima belas tahun berlalu, tapi Aimee tetap merasa takut pada Stuart.

"Pergilah Aimee, mungkin tuan muda butuh bantuan mu." ucap Reiko. Tangannya yang mulai keriput menepuk lembut punggung tangan Aimee. Reiko bukan tidak tahu ketakutan yang Aimee rasakan, dia pikir itu karena trauma Aimee pada laki-laki. Tidak mengira itu karena hal lain.

Aimee mengangguk kaku. Dia beranjak tanpa kata, kakinya melangkah di anak tangga yang akan membawanya ke kamar sang tuan muda. Aimee berhenti melangkah, dia berdiri di depan pintu hitam dengan ukiran rumit di pinggirnya. Aimee mengetuk beberapa kali, suara datar di dalam sana memerintahnya masuk.

"Selamat siang tuan muda." Aimee membungkuk, gadis itu berdiri di depan pintu yang terbuka. Itu membuatnya merasa aman.

"Bereskan itu, tata di rak." Stuart menunjuk kardus berisi tumpukan buku. Laki-laki itu berdiri di tengah kamarnya yang bernuansa putih, menatap Aimee dengan dingin.

Aimee mengangguk ringan. Dia mulai menata buku dalam kardus pada rak besar di kamar Stuart. Saat buku terakhir berhasil ia tempatkan pada rak, saat itulah Aimee mendengar pintu tertutup disusul bunyi kunci yang diputar dua kali.

Aimee menengok ke belakang dengan cepat. Dia melihat punggung tegap Stuart di depan pintu. Saat laki-laki itu memutar tubuhnya, Aimee melihat kunci yang Stuart masukan dalam saku kemeja biru tuanya.

"Tuan, pintunya..."

"Kenapa pintunya?"

Aimee secara naluri mundur menjauh saat Stuart berjalan mendekatinya. Langkahnya begitu tenang, seperti seekor serigala yang mengintai mangsanya. Aimee terus melangkah mundur, menatap Stuart dengan waspada. Percayalah, di ruang hanya bersama Stuart itu bencana.

Laki-laki yang membawa aura kutub selatan. Dengan wajah sempurna yang membuat siapa saja akan menoleh dua kali setiap berpapasan. Stuarto Aldebaran, dia kelemahan terbesar Aimee aurora.

"Kudengar ibumu sudah pulang dari rumah sakit."

"Iya, saya baru saja menjemputnya. Ibu sedang istirahat." Aimee menjawab setenang mungkin.

"Itu bagus."

Aimee berhenti saat punggungnya menyentuh rak buku. Bodoh, dia terjebak. Aimee menelan ludah dengan alot saat melihat seringai tipis di bibir Stuart.

"Bodoh." tidak usah katakan Aimee tahu dia bodoh. Harusnya dia lari ke pintu. Tapi bukankah pintu juga telah terkunci.

"Duduk, temani aku menonton film."

"Tapi, tuan. Saya harus menggantikan ibu."

"Kau menolak."

Aimee menegang. Sekali lagi dia melakukan kebodohan. Hal yang paling Stuart benci adalah bantahan, apa lagi jika Aimee yang melakukannya.

"Tidak tuan. Baik, saya akan duduk."

Aimee berjalan cepat, setengah berlari, menuju sofa dan duduk di sana. Stuart menaikkan satu alisnya menatap Aimee yang duduk patuh di sofa hitam di seberang ranjang besarnya.

Stuart berjalan mendekat, sebelum duduk tangannya meraih remote untuk menyalakan televisi layar datar, lengkap dengan peralatan home theater.

Stuart menempatkan tubuhnya di samping Aimee, duduk merapat pada gadis itu. Aimee yang merasa kurang nyaman akan mengambil jarak saat bahunya ditahan oleh telapak besar Stuart, membuatnya tak bisa bergerak.

Ini terlalu dekat, Aimee bisa mencium aroma parfum Stuart yang maskulin.

Setengah jam film itu berputar, Aimee sama sekali tak paham. Jenis film action yang penuh teka-teki memang bukan favoritnya. Aimee melirik Stuart yang duduk dengan tenang, laki-laki itu tampak menikmati filmnya. Aimee kembali menatap layar tv besar di depannya, mencoba memahami jalan cerita dari film itu.

Tapi yang terjadi adalah, Aimee tertidur. Kepalanya menunduk dengan tubuh yang menyandar penuh pada Stuart. Stuart meraih remote tv, mematikan kotak elektronik itu seketika. Tak peduli sekalipun film masih berputar setengahnya.

Lalu kini dalam ruangan itu, yang terdengar hanya suara detik jam.

Stuart menunduk, menatap Aimee yang tertidur pulas. Stuart tahu Aimee tak menyukai genre film action, karenanya ia memutar film itu. Sebab setiap gadis itu bosan dia pasti akan tertidur, dan itu adalah saat yang paling Stuart tunggu.

Tangannya menyingkirkan helai rambut Aimee yang menutupi wajah gadis itu. Tangan Stuart menarik dagu Aimee, membuat wajah menunduk gadis itu terlihat jelas di matanya. Stuart menjalankan tangannya ke leher Aimee, membelainya seringan bulu. Menjalar ke rahang gadis itu, lalu pipinya yang merona kemerahan, kemudian berakhir di bibirnya yang tebal yang merah alami. Stuart menyiksa dirinya sendiri, membelai terus bibir gadis itu sambil membayangkan bibirnya sendiri yang melakukannya. Belum lagi nafas Aimee yang terasa di perpotongan lehernya. Stuart rasa, dia akan gila sebentar lagi.

"Apa yang harus kulakukan, agar dapat memilikimu, Ai." Stuart berbisik di depan bibir Aimee, sebelum mencuri satu kecupan darinya.

***

Hai, sorry pendek.

MAID MINE (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now