Part 3: Kasih Tanpa Kisah

163 15 0
                                    

Biar tetap ku tanam kasih, dengan tanpa pamrih. Meski tiada kisah, agar semesta tak lagi mendesah

      Malam itu gerimis mengguyur segala yang dimuka bumi, meski hanya sejenak, sedari maghrib sampai isya saja. Namun berjuta rintikan itu meninggalkan bekas yang tak mudah lenyap seketika. Memang keringnya tanah butuh siraman, namun kehendak tuhan masih mencukupkan kegersangan hilang tanpa disiram selamanya, hanya sejenak saja. Mungkin biar tanah tau apa itu berdoa. Memohon padanya pemberian yang kini ia butuhkan. Itulah yang kini tengah jadi tafakkur Gus Abdillah. Di teras rumah belakang mertuanya, ia memandangi apapun dihadapannya. Ia bertekad bisa selayaknya tanah. Ketika butuh kasih, diberi cinta berharga, yang ia harapkan bisa menua bersama. Nyatanya kisah yang masih membuncah-buncahnya itu malah diakhiri usia salah satu pemerannya. Ia kini jadi kerontang, rindu belaian yang kemarin-kemarin masih ia rasakan. Mungkin tuhan masih ingin ia jauh lebih dekat denganNya dengan cara lain, agar intimnya memang tanpa lainNya.

"Astaghfirullahal adzim,"mulutnya beristighfar menyerupai desahan sesalan tersadar akan dirinya yang belum lapang dada pada suratan tuhannya.

"Lop, ayo kita ke ke roudhoh, sudah pada nunggu disana" ajak Kyai Rohman menyudahi kecamuk pikiran Gus Abdillah. Segera keduanya berjalan ke roudhoh, taman di halaman depan rumah Kyai Rohman. Disana ibu sudah bersiap diri. Barang bawaan sudah berjajar siap diangkut oleh khodim-khodim Kyai.
Sebelum berangkat Kyai Rohman memimpin doa-doa safar yang diaminkan sebagian santri yaitu hanya para khodim, khodimah dan pengurus pesantren serta keluarga beliau yang hadir di pelepasan umroh itu. Setelah sebelumnya adzan dikumandangkan oleh Kang Sholikhin.
Usai serangkaian amin dikumitkan oleh semuanya. Mereka berebut rapi menyalami yang dilepas. Sembari mengucurkan air mata. Entah terharu, entah tiba-tiba teringat Ning Sakila. Entah karena akan merasakan rindu pada sang murobbir ruh guru tercinta, KH. Abdur Rohman. Atau akan rindu pada bu nyai bahkan Gus Abdillah. Namanya orang alim, siapapun hati yang telah tertambat pasti merasakan kesejatian cinta pada mereka. Apalagi hadirin di roudhoh adalah keluarga dan santri-santri terdekat. Seakan sudah lebih dari sekedar kekasih mereka menganggap beliau-beliau, tanpa mereka sehari saja hari serasa tak dijalani.

    Termasuk Enta, ia sedih karena dua minggu ke depan tak ada pengajian umum yang paling menyentuh batin, yakni pengajian yang setiap hari diisi oleh Kyainya. Ia juga sedikit kurang, akan menjalani hari-hari khidmah di kebun ibu nyai tanpa di awasi empunya. Semenjak ketiadaan Ning Salika memang ia di reposisi sebagai perawat kebun bunga milik bu nyai yang berada di halaman belakang rumah beliau. Apalagi untuk sementara di kelas musyawarahnya tanpa ada bimbingan dari Gus Abdillah yang seharusnya masuk seminggu 3 kali, yaitu hari sabtu, Ahad, dan Kamis. Jadi pembelajaran harus mandiri dengan seorang pengatur jalannya musyawarah/ presentasi. "Nggak asik", keluhnya dalam hati. Namun ia teringat, bukankah di pondok ini ia selalu dididik dan mendidik guna menerapkan apa itu sabar, ngalah, triman, loman . (bersabar, mengalah, menerima, dan dermawan). Keempat tagline pondoknya itu memang mudah diucap, tapi maha berat mengamalkannya terutama bagi orang awam seperti dirinya.
"Astaghfirullah", gumamnya merasa berdosa. "ngerasa apa aku ini" batinnya.

     Mobil grandis silver berplat menyala-mati bertulis PADANG ATI yang dikemudikan salah satu sopir pribadi KH. Abdur Rohman yang menampung KH Abdur Rohman, istri, Gus Abdillah serta sedikit sanak. Kemudian diikuti mobil alparhd yang juga silver namun berplat biasa yang menampung beberapa khodim yang ditunjuk kyai untuk mengiring telah lenyap dari pandangan. Enta dengan mata yang jelas selepas terjebol aliran segera masuk komplek A menuju kamarnya, yaitu kamar A5.

    Pondok Pesantren Padang Ati yang baru berdiri enam tahun ini tanpa donasi dana pemerintah telah memiliki tiga komplek kamar, masing-masing komplek terdiri dari tiga sampai lima kamar. Yang mana masing-masing kamar mampu memuat dua belas sampai tiga puluh enam santri. Tergantung kapasitas loker lemari dan luasnya.

    Sesampainya di kamar, ia segera mengambil buku bersampul biru dan pena hitam sederhana. Di bibir jendela kamar yang tingginya hanya setengah meter dari lantai ia mulai menulis dengan duduk menyerong beralas lantai keramik krem.

Harapan demi harapan
Disulam jadi predikat kehinaan
Buat apa mengharap pada hamba
Toh tuhanlah yg berkuasa

Pengharapan jadi tanda
Ketulusan yg tiada
Maka rintihku berusaha
Tiadakan sepatutnya

Biar tetap ku tanam kasih
Tanpa pamrih
Meski tiada kisah
Agar semesta tak lagi mendesah


Assalamualaikum dear,
Mohon vote n comment ny yah..
Author masih pemula nih,  bener2 butuh kritik n saran kalian.
Terima kasih. .

Wa maa kholaktul jinna wal insa illa liya'budun
Tunggu uplodan berikutnya yah..

Cahaya HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang