Bagian empat : ruang hati yang berganti

3.1K 471 40
                                    


"Ketika takdir mengikat kita dua puluh tahun lalu sebelum kau pergi, aku terima. Tapi jika kali ini takdir bermain lagi, naifkah jika aku berkata 'ya' ?"

Cinta bisa mempermainkan jiwa seorang budaknya. Seperti aku dan kakakku.  Permainan hati yang terjadi saat belia. Ketika cinta sedang mekar ranum-ranumnya,  kata 'tidak' dari orang lain bisa jadi racun yang mematikan.  Kematian tentang harapan,  dan cinta. Atau bisa jadi,  gairah untuk memulai hidup setelah kehilangan,  ikut mati.

Aku masih mengaduk gelas es frapucino yang tinggal setengah.  Duduk menghadap jalanan yang lalu lalang berbatas kaca bening di sudut kafe. Hariku hanya kuhabiskan untuk duduk sepanjang waktu disana, dan memesan es kopi dengan satu potong kue manis sebagai satu-satunya kadar manis yang kupunya dalam hidup. Oh, itu kafeku. Jangan khawatirkan tentang bagaimana aku membayar pesanan jika kerjaku hanya duduk berdiam di sudut ruangan.

Mendung,  angin sepoi,  daun gugur,  dan segelas kopi. Itu akan sempurna jika saja sudut mataku tak menangkap sosok yang mulai memenuhi sel-sel aktif di otakku. Jungkook. Lelaki muda dengan senyum lucu yang menemuiku duluan di taman kala itu.

☀🌙

"Oh hi! "  Itu aku. 

Seperti takdir,  dia masuk kedalam kafeku dengan menggandeng seorang wanita paruh baya yang masih cantik,  dengan senyum kelinci yang kuingat sebagai senyum terindah didunia,  senyum kekasihku. Jungkook pun menyapaku duluan sehingga aku menjawab dengan dua kata singkat tadi.

"Aku sedang ingin menikmati sore hangat ini dengan ibuku. " Jelasnya.

Aku menunduk hormat.  Membungkuk sopan sebelum tertegun heran melihat dia menitikkan air mata. Dan tersenyum melihatku.

"A-ada apa bu? "

"Jimin?  Benar kan?  Park Jimin? " suaranya lembut,  mengingatkanku pada satu-satunya suara keibuan yang selalu kudengar saat masih belia.

"A-anda... Bibi Song? " mataku membulat.

Wanita anggun itu mengangguk,  lalu menatapku dengan berkaca-kaca.

Ingatanku melayang lagi,  ke masa saat ayah ibu selalu sibuk dengan parlemen atau pertemuan negara yang menyita waktu. Saat aku tak bisa bersama dengan kakakku,  hanya wanita muda dengan senyum mengembang indah itulah yang bisa menemaniku. Bibi Song,  namanya,  aku sangat ingat.  Dia sering memelukku dalam tidur,  sering mengoceh tentang cerita khayalan pangeran,  atau menemaniku menonton film sampai tertidur.  Dia yang selalu mau bercerita tentang suaminya yang tampan,  dan keinginan nya untuk memiliki putra yang setampan Park Jungkook,  yang nantinya ingin dia nikahkan dengan seseorang semanis Park Jimin. 

Aku ingat semuanya.  Bahkan,  aku ingat wajah terakhirnya saat dia memelukku yang menangis terluka karena kepergian kekasihku,  kakakku,  satu-satunya keluarga yang ada untukku.  Oh,  atau bisikan terakhir bibi Song yang membuatku tegar dan bertahan di negeri orang.

"Bibi selalu mendukungmu,  apapun tuan muda.  Jangan bersedih...  Kau akan punya cintamu yang lain,  Jungkook mu yang lain. "

Aku memeluk bibi Song dengan erat,  hingga tanpa sadar aku ikut menangis. Bahkan aku ingat aroma mawar dari tubuhnya masih sama.

"Bibi... Bibi tak menyangka bertemu tuan muda disini..  Ya tuhan kau masih sangat manis seperti jaman sekolah menengah. "

Aku menunduk tersipu,  mengingat bagaimana manisnya aku dulu,  dan bibi Song sering mengusak rambutku seperti anak gadisnya.

"Bibi..  Aku sudah tua.  Jangan begitu.. "

"Tua?  Kau tetap sama..  Tidak akan ada yang sadar akan usia mu tuan muda. "

"Jadi...  Bagaimana kalian mengenal. " suara rendah itu membuat kami,  aku dan Bibi Song,  tersadar dari saling tatap. Jungkook merasa di kucilkan.

"Ibu ini dulu bibi kesayangan tuan muda,  Kook. Pernah kan ibu cerita soal lelaki tampan yang membuat ibu memberimu nama Jung—"

Bibi Song tak melanjutkan ucapannya.  Matanya kemudian bergerak panik menatapku dan Jungkook bergantian. Aku tersenyum sembari mengelus lengannya,  menandakan aku baik-baik saja. 

"M—maaf... " bibi Song menunduk.

"Tak apa,  bibi. Aku sudah baik-baik saja..  Waktu banyak berlalu. Dan aku,  mungkin sudah melepasnya. "

Kataku sembari tersenyum menenangkan.  Padahal munafik,  hatiku bergemuruh setiap nama 'Jungkook' terdengar,  atau terucap.

"Jadi bibi,  inikah putra yang sering kuciumi saat masih diperut bibi,  saat kau memelukku dulu? " aku melirik kearah lelaki muda yang menatapku dengan..... Entah..  Aku tidak bisa menebak.

Bibi Song tersenyum,  lalu mengusap punggung putranya dengan lembut. 

"Jungkook..  Jeon Jungkook...  Yang aku ambil dari tuan Park Jungkook.... "

Jimin mengangguk..  "Sangat mirip... "

Bibi Song mengangguk lagi. Tapi kini air matanya meleleh untuk kesekian kali.

"Tapi aku tak pernah tahu bahwa mereka akan semirip ini..

Setiap aku menatapnya,  aku hanya ingat dirimu,  tuan muda. Dan.. mungkin,  bisakah aku serakah sekali lagi?"

"Nde? "

Aku pura-pura bodoh,  seperti biasanya. 

"Setelah mengambil nama dan sosoknya,  bisakah aku merebut Park Jimin nya? Karena aku serakah, dan egois, ingin menyatukan Jimin dan Jungkook"

Pertanyaan ku,  bisakah?  Bisakah aku menjadi seegois bibi?

Tbc

Hey you !  ↭ Kookmin ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora