Pecinta Vanilla (PART 1)

1.2K 15 0
                                    


Diary of Rion & Mr. Shinichi 


Rion POV

"Arion Putra Melviano."

Aku samar-samar mendengar suara khas seorang pria, perlahan aku memberanikan diriku membuka kedua mataku. Hal pertamanya yang ditangkap oleh kedua mataku adalah kegagahan tubuh pria itu. Tangannya begitu kekar, mungkin pria itu rajin gym. "Sudah sadar Arion?" Suara bass itu kembali melantun, membuatku ingin mendengarkan terus-menerus.

Baru kusadari bahwa ruang gerakku sangat terbatas, tangan kakiku semuanya terikat disebuah kursi yang kududuki. Apa-apaan ini? Kenapa aku bisa ada disini? Pria itu meninggalkanku, beranjak mengambil sebuah remote dan menekan salah satu tombolnya, sedetik kemudian sebuah gambar termpampang di layar TV. TV tersebut menampilkan sosok pria yang nampaknya sedang melakukan aksi kejahatan, yaitu mengintip seseorang mandi. Sungguh tidak terpuji. Penasaran aku lantas memicingkan kedua mataku, untuk melihat lebih jelas siapa yang ada didalam layar TV tersebut.

Butuh kira-kirabeberapa menit, baru aku menyadari bahwa orang yang dilayar TV dan sedang mengintip adalah diriku sendiri. Seorang Rion yang tertangkap basah sedang melakukan perbuatan tidak terpuji. Sial, parahnya orang yang aku intip adalah member VVIP gym dimana aku bekerja.

Ryuzaki Shinichi namanya.

"Falkutas Seni Liberal di Univesitas Tokyo, dengan biasa beasiswa." Pria itu membuka suara lagi, setelah menghentikan tayangan video di layar TV. Mendengar suaranya kali ini, membuat nyaliku menciut dan setengah terpojok. Pria itu mengetahui semua identitasku, mungkin sampai sedetilnya. Aku langsung menggelengkan kepalaku, berharap pria itu hanya mengetahui kulit luarnya saja. "Dan seorang submissive." Pikiranku mendadak dan memejamkan kedua mataku, berharap tidak terjadi apapun.

*

Dua jam yang lalu...

Aku bergegas meninggalkan kampus menuju ketempat part timeku disebuah tempat olahraga terbesar di Tokyo. Beberapa kali aku melakukan transit busway, akhirnya aku tiba di gym tepat waktu. Cleanning servise, adalah pekerjaan part timeku. Dengan semangat aku melangkahkan kakiku keruang karyawan dan mengganti pakaian casualku dengan seragam kerja. Setelah berganti pakaian aku segera bergegas meninggalkan ruang karyawan, karena sebentar lagi ia akan tiba. Pukul empat tepat, sosok pria yang kukagumi sejak pertama kali kerja disini pun tiba, sekedar melakukan rutinitas berolah raganya.

Tangannya begitu kekar, ingin sekali aku menyentuhnya, merasakan kekarnya. Beberapa wnaita resepsionis sudah menghampirinya, sekedar berbasa-basi untuk terlihat akrab dan kalau bisa menarik hati pria itu. Aku melihatnya begitu jijik, ingin muntah rasanya. Adanya yang dengan sengaja mendorong payudaranya untuk memanggil hastrat pria itu. Aku masih tidak beranjak dari tempatku berdiri dibalik tembok pembatas antara lobby dengan lorong menuju ruangan gym. Tatapan kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandangan—takut dikira aku menguntitnya.

"Saya permisi dulu," pamitnya dan langkah kakinya semakin dekat menuju ke lorong tempat aku bersembunyi. Detak jantungku semakin tak terkendalikan. Langkah kakinya semakin dekat dan aroma maskulinnya masuk tanpa ijin kedalam indra penciumanku, membuatku melayang. Pikiranku sudah terbang jauh entah kemana, membayangkan pria itu akan meminta nomer ponselku, bahkan memintaku melakukan one night stand bersamanya—mengingat hari ini adalah akhir pekan. Pikiranku buyar seketika ketika aroma maskulin itu mendadak hilang dari peredaran indra penciumanku. Pria itu hanya melewatiku saja. MELEWATIKU!!! Jantungku sudah kembali normal dan munculnya perasaan kecewa. Pria itu tidak melihatku, se-invisble aku? Seperti mahkluk yang tak kasat mata.

Sudah menjadi rutinitasnya menghabiskan kurang lebih tiga jam untuk berolah raga. Aku berulang kali menengok alorgiku, memastikan pria itu masih berolah raga disana. "Jam empat," pekikku cukup keras, membuat beberapa pasang mata menatatapku seolah mempertanyakan apa maksudku menjerit seperti tadi. Kaki-kakiku langsung melangkah menuju kekamar mandi umum yang biasanya digunakan para pelanggan untuk mandi setelah berolah-raga.

Aku memberanikan diriku untuk melangkah masuk kedalam kamar mandi, membawa kain lap dan berpura-pura membersihkan kaca yang mengembun akibat uap air panas. Kedua mataku masih berusaha mengintip satu persatu bilik kamar mandi yang hanya tertutup oleh sebuah korden plastik, memudahkanku mengetahui penghuni bilik tersebut sekaligus apa yang sedang dilakukannya. Beberapa minggu silam, aku pernah melihat sepasang kekasih gay sedang memuaskan nafsu mereka setelah berolah-raga. "Sedang apa kau?" Sial—perlahan pengelihatanku gelap dan menyisakan sosok pria yang baru saja mencabut sebuah suntikan dari leherku. Ya, aku telah dibius olehnya.

"Untuk apa kau memejamkan kedua mata? Berharap saya untuk melakukan 'hal' itu padamu?" Ryuzaki menatatapku dengan datar dan aku menebak hatinya pasti sedang menertawakanku saat ini.

"Apa kamu menginginkan saya menyentuhmu?" tanya Ryuzaki datar. Mulutnya tidak bereaksi apapun, disisi lain hatiku yang berteriak untuk minta dipuaskan—pria itu kembali tersenyum. Kedua matanya menatatap gundukan dalam celana dalamku membesar. Shit, pasti dia akan menertawakan lebih dari sebelumnya.

Jemarinya yang kira-kira berukuran sepuluh senti sudah bermain-main dengan 'aset'ku yang membuatnya semakin meneganh. "Saya harap kamu tidak mengeluarkan desahan disini, saya paling benci jika orang lain mendengarkan suara indahmu." Belum sempat aku menjawab, Ryuzaki meninggalkanku dan kembali dengan membawa ball gag. "Diamlah, saya akan memberimu reward."

Pria itu kembali menghilang, meninggalkanku dalam kondisi hendak mencapai klimaks membuatku dilanda frustasi hebat. Hatiku berkecambuk, mengeluarkan semua sumpah serapah yang kutahu. "Mungkin ini bisa memuaskanmu." Suara bass itu kembali terdengar, namun tidak menunjukan tanda-tanda keberadaan pria itu. Sebuah getaran mengagetkanku, membuat tubuhku terutama dibagian bawah menggeliat hebat. Apa itu? Sebuah vibrator? Kapan dia memasukkan kedalamku?

"Bagaimana? Masih kurang?" tanyanya lagi. Getaran itu semakin kuat, membuatku mengeluarkan desahan tak jelas, air liurku terus menetes dari lubang-lubang tersebut membuat celana dalamku basah. Runtukan demi runtukan aku teriakan dalam hati, namun pria itu masih belum kunjung datang. Getaran itu semakin kencang dan aku mencapai klimaks.

Sebuah suara roda menggelinding kembali menyadarkanku, kedua mataku kembali memandang keseluruh penjuru ruangan ini, mencari darimana sumber suara tersebut. Detupan jantungku semakin kencang, bukannya takut namun semakin penasaran apa yang akan dilakukan pria itu padaku. Sungguh masochist diriku.

"Saya bukan tipikal bermain dengan lembut." Aku mengerutkan dahiku, seolah mempertanyakan maksud perkataannya. "Tapi saya adalah tipikal bermain kasar," lanjutnya sembari memasangkan penutup mata padaku.

Hampir seluruh indraku direnggutnya, terkecuali indra pendengaranku—"Saya harus merenggut semua indramu, supaya permainan ini lebih menarik. Tapi saya minta, jangan pernah memberontak dengan apapun yang saya lakukan padamu." Pesan terakhir yang aku dengar sebelum pria itu memasang sebuah ear butt dimasing-masing telingaku. Aku merasa kegelapan menyelimuti tubuhnya dengan amat. Membuatku takut untuk beranjak, membuatku membutuhkan bantuan seseorang untuk menolongku.

-END OF PART 1-

Diary of MenWhere stories live. Discover now