Painful Feeling

11.5K 1K 210
                                    

"Seberapa gregetnya elo?" Liand menyodorkan mic sisir pada pantulan dirinya sendiri di dalam cermin, menirukan trend yang sering dilihat di channel vlogger gaul.

"Kemaren gue nolongin kabur anak orang, tapi yang ditolong malah bobok-bobokan manja sama bokapnya." Kemudian Liand melolong panjang tanpa suara.

Derai air mata fiktif dan rengkuhan tangan di dada yang seolah sedang meremas jantung adalah drama pribadi yang tidak akan pernah dilihat oleh siapapun, kecuali bayangannya sendiri di dalam cermin, dan Tuhan.

"Tuhaaaaan ... Apa salahku sampai harus melihat adegan terkutuk itu?" lolong Liand dengan suara tertahan. Ekspresi wajahnya seperti orang yang baru saja menuang air rebusan mie ke dalam wastafel tapi mienya ikut tumpah, menyesal setengah mati.

Meskipun belum jelas apa yang terjadi diantara Fahri dan Humaira, dan alasan gadis bermata biru itu kabur dari rumah, sungguh Liand tidak rela melihat Humaira dipeluk dan dicium-cium oleh om tetangga sebelah. Hatinya tercabik-cabik, meskipun tak berdarah.

"Liand Hamzah." Suara Ummi dan ketukan pintu membuat Liand menghentikan drama konyol itu. Dia berdeham lalu mengubah mimik muka menjadi serius. Sedangkan tangannya sibuk membenahi dasi seragam yang sedikit miring.

"Liand, Sayang." Sekali lagi Ummi menyebut namanya. Jangan sampai tiga kali kalau tidak mau suara lembut itu berubah menjadi lengkingan maut yang mengerikan!

"Iya, Umm." Liand melesat cepat untuk membuka pintu kamar. Seorang wanita cantik dengan kerudung dan gamis lebar sedang menatapnya cemas.

"Sudah jam enam lebih dua puluh sembilan menit, Nak. Kamu masuk jam tujuh, kan? Naik sepeda pula. Jangan sampai telat." Aulia menasihati anak laki-laki tertuanya setelah melihat jam di layar ponsel. Matanya sempat menyapu ruangan ini, inspeksi singkat, kalau saja ada benda yang mencurigakan, anak gadis orang misalnya. Tapi ternyata kamar Liand aman, tertata rapi, bersih, bahkan wangi. Aulia hanya tidak tahu Liand sedang menyimpan gundukan pakaian kotor di bawah meja belajar. Pakaian yang lupa ia taruh ke dalam keranjang cucian di lantai bawah.

Sebenarnya Liand ingin memutar matanya secara -yang benar saja-, karena waktu 30 menit dengan jarak 5 kilometer itu bukan masalah baginya. Kaki panjangnya akan mengayuh pedal sepeda secepat flash gordon, demi-untuk-bertemu-Humaira-secepatnya.

Tapi Liand bukan anak pembakang yang bersikap kurang ajar pada kedua orang tuanya, terutama Ummi. Hormatilah Ummi, ummi, ummi kemudian Abi. Begitu yang sering diajarkan baik di rumah maupun di sekolah.

Lagipula tugas Umminya adalah mengkhawatirkan apapun yang tidak perlu dikhawatirkan. Liand memaklumi itu. Maka Liand putuskan untuk tersenyum semanis mungkin, "Iya, Umm. Liand udah siap berangkat ke sekolah, kok."

"Sebelum sarapan, Ummi mau ngomong sama kamu." Aulia memajukan tubuhnya untuk berbicara lebih jelas.

Liand menunggunya dengan wajah serius. Please, jangan ceramah lagi. Doa Liand sungguh-sungguh.

"Kamu kemarin bawa kabur Humaira ke rumah Eyang Rani?" tanya Aulia berwajah tak kalah serius.

Liand menggeleng, "Aku cuma bawa kab ..." ucapannya terhenti, "Ngajak dia main ke kampung Pelangi. Om Fahri yang bawa Mai ke rumah Eyang Rani," lanjut Liand mengoreksi.

"Kenapa kamu ikut?" tanya Aulia mengubah raut wajahnya menjadi tak suka.

"Karena aku merasa ada yang aneh dengan Mai dan ..."

"Apapun masalah Mai dengan keluarganya, jangan ikut campur."

Liand terdiam.

"Eyang Rani itu benci sama keluarga kita."

Humaira, A Girl With The Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang