"Hm?" gumamnya bertanya karena aku tidak juga menjawab.

Aku tidak langsung menjawab karena harus berpikir sejenak, bisa jadi ini pertanyaan jebakan. Dia kan licik.

"Susah banget jawabnya?" Bram terdengar tidak sabar.

Aku mendongak, menatapnya yang saat ini mulai menyesap teh dari cangkir.

"Kalau khawatir emangnya salah?" tanyaku.

Bram mengangkat salah satu alis menatapku dari ujung cangkir. Menyesap sedikit lagi sebelum menjauhkannya dari mulut.

"Enggak," sahutnya.

Aku tersenyum tipis. Kayaknya bukan pertanyaan jebakan. Syukurlah.

"Kalau sama Bapaknya? Khawatir, enggak?" Lalu dia nyengir.

Aku menghela napas malas, lalu mulai menatap langit lagi dan kembali menghitung bintang dalam hati. Menghabiskan waktu sampai Aria mau menerimaku di kamarnya.

"Laya ...."

Lalu hitunganku berantakkan lagi.

"Ya?" sahutku dengan nada sedikit kesal.

"Aku serius loh kemarin minta kamu jadi maminya Aria," katanya yang membuatku mau tidak mau menghentikan kegiatan hitung-menghitungku.

Dia mulai lagi.

"Aku juga serius nolaknya," kataku, menghujam pandangan ke arahnya.

Bram menurunkan sudut-sudut bibirnya, terlihat sekali kalau dia kecewa.

"Lagian, bisa-bisanya kamu nyari mami baru buat Aria sementara kamu belum cerita ke Aria tentang kematian maminya," geramku.

Tiba-tiba Bram terbatuk, teh dalam mulutnya sampai tersembur. Susah payah dia menghentikan batuknya. Aku risih sendiri, karena teh dari mulutnya muncrat ke kardigan.

"Aduh, maaf Laya! Maaf!" paniknya, mengulurkan tangan ke arah kardigan tapi kutepis.

"Enggak usah dilap!" tolakku. Aku enggak mau tangannya menyentuh bagian dadaku. Kalau kena, bagaimana? Amit-amit!

Bram sepertinya sadar, dia langsung menarik tangannya dan tersenyum kikuk ke arahku.

Aku menghela napas. Lagi. Helaan napasku enggak habis-habis kalau berhadapan dengannya. Enggak tahu kenapa, bawaannya kesal terus.

"Maaf ...," lirihnya lagi.

"Dimaafkan," sahutku cepat.

"Makasih, Laya."

"Jadi masalah Amira ...."

"Dia hidup," potong Bram membuatku menatapnya dengan mata membulat.

"Tapi kamu bilang dia ... enam bulan lalu ... Amira ...." Astaga! Aku bahkan tidak dapat merangkai kalimat yang hendak kuucapkan dengan benar.

Amira hidup? Terus kalau dia hidup ... di mana?

"Enam bulan lalu dia pergi." Bram menundukkan kepala, cangkir teh sudah diletakkannya ke atas meja kaca kecil yang ada di balkon.

"Ke-ke mana?" gagapku saking tidak menyangka.

"Enggak tahu." Bram mengendikkan bahu. "Kalau tahu, sudah kuseret dia pulang."

Aku menelan ludah susah payah. Entah mengapa ada perasaan aneh bercampur lega yang menelusup ke dalam hati. Perasaan yang entah mengapa membuat hatiku sedikit nyeri.

"Aku pikir ... dia meninggal," pelanku.

Bram membungkuk, menatapku dengan lebih dekat. Keningnya mengernyit.

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitWhere stories live. Discover now