Boruto cepat-cepat menghapus gambaran negatif didalam kepalanya.

"Mommy kenapa aku harus bersekolah? Bukankah aku terlalu pintar untuk level anak-anak seusiaku"

Kesan angkuh begitu melekat pada putranya. Entah siapa dan dari mana bocah kecil itu mendapatkannya. Hinata selalu dikagetkan dengan setiap tanggapan-tanggapan putranya. Dia sadar bahwa bocah kecil sok dewasa itu jenius dan mampu menghandle masalahnya sendiri tanpa bantuan orang dewasa. Namun, Hinata tidak akan membiarkan putra keras kepalanya itu mengabaikan  masa kenak-kanaknya dengan urusan orang dewasa.

Hinata berhenti mengunyah sandwichnya sejenak sesaat merespon putranya lalu dikunyah kembali dengan cepat dan ditelannya kemudian. Manik amethyst cemerlangnya berfitur menyendu dan raut wajahnya melunak suram sesaat.

Perkataan putranya barusan memang masuk akal. Kecerdasan yang dimilikinya tidak patut ditempatkan pada level TK. Hinata menaruh garpuknya diatas piring lalu menatap putranya serius dan intens kembali.

"Boruto, dengarkan Mommy...... mommy ingin kamu bersekolah agar menikmati masa kecilmu dan memiliki banyak teman. Mommy mau kamu jangan memikirkan sesuatu yang diluar usiamu"

Boruto menganggukkan kepalanya akan paham maksud dari ibunya. Kemudian kembali mencomot-comot sandwichnya. Boruto seperti baru saja seperti mendapatkan misi untuk menikmati masa bocahnya. Namun disatu sisi, dirinya tidak keberatan jika masa kanak-kanaknya hilang. Jika dirinya bisa membuat ibunya menjalani kebagiaan. Lalu apa pentingnya dirinya, karena baginya kebahagiaan itu adalah melihat ibunya berdiri dan maju melangkah ke depan tanpa beban.

Boruto tahu selama ini ibunya berusaha menahan deritanya sendiri untuk dirinya. Boruto sama sekali tidak memiliki minat untuk bersekolah, menurutnya tempat itu hanyalah untuk anak-anak yang memiliki ayah. Sementara dirinya yang tidak punya ayah akan selalu menjadi bahan bullyan disana.

Bocah itu mantap tidak membutuhkan pria dewasa bersamanya, namun masyarakat diluar sana berlawanan opini dengan keinginannya. Ini adalah urusannya dan keluarganya, tapi kenapa orang-orang itu mencemooh ibunya hanya karena melahirkan dirinya tanpa seorang pria dewasa disisi ibunya.

Tentu masalah ini tidak akan pernah sampai ketelinga ibunya. Usahnya untuk meringankan beban ibunya tidak akan berhasil sampai jika ketahuan, kan.

Bocah pirang itu menghela napas dalam, lalu mencomot malas sandwichnya, nafsu makannya jadi hilang memikirkannya.

Dia hanya harus menahan dirinya saja kan, jika masalah itu datang padanya. Sungguh Boruto tidak mau jika ibunya dilibatkan dalam masalahnya. Dirinya adalah seorang lelaki sudah sepantasnya dia melindungi ibu dan bibinya.

Keheningan beberapa saat dimeja makan terjadi, setelah percakapan singkat itu terpatahkan oleh kedatangan adik angkat Hinata, Terumi Mei.

"Selamat pagi, Nee-san.... "

Mei mencium pipi Hinata dan Boruto bergantian setelah menyalaminya. Lalu menarik kursi dipinggir keponakannya untuk didudukinya. Sepotong sandwich diambilnya dan dikunyahnya dengan santai tanpa beban. Seakan waktu berjalan lama dan dunia hanya miliknya sendiri.

"Mei-chan...... lihatlah jam diatas kepalamu"

Mei dengan polosnya berkedip-kedip linglung saat merespon Hinata. Namun hal itu tidak bertahan lama, sikapnya berubah ketika angka jarum pendek jam menunjuk setengah sembilan.

Gadis fresh college itu terlonjak membentur meja lalu beranjak sembari mengangkat buku dan tas slempengannya dengan terburu. Tak lupa menggigit sandwichnya hingga bergelantung diantara gigi dan bibirnya.

"Nee-san harusnya ngomong dari tadi" Mei berlari sempoyongan seperti dikejar anjing. Hinata terkikik dengan kelakuan lucu adik angkatnya. Sungguh hiburan tersendiri melihat kecerobohan adiknya!! Jujur saja kebahagiaan semacam inilah yang dirinya harapkan. Keharmonisan yang terjalin dalam keluarga kecilnya tanpa adanya masalah.

l'M A STRONG WOMANWhere stories live. Discover now