PADAM 2

17.3K 2.4K 171
                                    

Anggara menatap letih wanita yang kini tengah tertidur pulas di ranjang sempit yang juga tengah ia duduki, membelai pucuk kepala yang basah oleh keringat. Rambut bagian depan wanita itu lepek, menempel pada kening dan pipinya yang bersemu merah. Jejak air mata masih terlihat di sana bahkan sudut mata gadis itu berair. Anggara pun mendengar rintihan pilu sebagai penanda bahwa meski tengah bermimpi yang ditemui wanita itu di alam bawah sadarnya juga tak seindah realita sekarang.

Dosa lelaki itu terlalu besar, ia terbiasa dengan kesalahan dalam hidupnya. Namun, menarik wanita itu di dalamnya tak pernah menjadi rencana Anggara.

Lelaki itu mengingat tiga tahun yang lalu, tanggal dua di malam bulan September. Nasib mencekiknya dengan pilihan yang teramat sulit, memilih uang atau mengorbankan harga dirinya sebagai lelaki bermoral selama ini. Ia bukan dari keluarga kaya, hidupnya sederhana, tapi jelas bekecukupan. Namun, sekali lagi hidup terlalu brengsek untuk memberinya kesempatan tidak memilih di antara keduanya kala itu.

Malam itu, tanggal dua bulan september, tiga tahun lalu. Ia memilih membuang harga dirinya sebagai lelaki. Menjadi penari striptis di acara pesta lajang Nitara dengan bayaran setimpal untuk menyelesaikan tunggakan kuliahnya yang menggunung karena kecerobohannya. Namun, siapa sangka bahwa menjadi penghibur di acara itu malah membuatnya menghancurkan sang calon mempelai wanita dua hari sebelum ia resmi menjadi istri orang lain. Bercinta berkali-kali tanpa menyadari bahwa ada seseorang yang merekam apa yang mereka lakukan, lalu menyerahkan video rekaman itu pada sang calon suami dan keluarga besar Nitara.

Pernikahan batal. Calon suaminya membuat Nitara menunggu di depan penghulu yang terus bertanya kemana kenapa keluarga mempelai pria tak datang juga yang kemudian dijawab ketika layar LCD di dalam ruangan yang ditujukan untuk memutar siaran langsung acara akad nikah Nitara, menjadi media yang mempertontonkan bagaimana gadis itu mendesah nikmat di bawah tindihan tubuh Anggara saat lelaki itu menjadikannya wanita seutuhnya. Membuat para keluarga dan tamu yang datang terkejut riuh dengan ayah Nitara langsung terkena serangan jantung lalu meninggal seketika, membuat keluarga wanita itu hancur saat itu juga.

Mungkin bagi sang mempelai pria hukuman itu setimpal dengan pengkhianatan yang dilakukan wanita itu, tapi Anggara bersumpah Niatar tidak berkhianat. Wanita itu ketika mendekatinya dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, ia ada di bawah obat prangsang yang terlalu kuat dan sebagai lelaki normal yang juga berada di bawah alkohol, dirinya tak berpikir dua kali untuk menjadikan mereka menjadi satu dalam dosa ternikmat yang benar-benar membakar mereka sesungguhnya.

Anggara mengusap wajahnya kasar, tak menyangka bahwa ia telah menghancurkan hidup seseorang sedemikian rupa. Wajahnya memang disamarkan dalam video itu, tapi wajah wanita yang merintih nikmat di bawahnya jelas tidak, membuat Anggara yakin ada seseorang yang benar-benar berencana menghancurkan hidup wanita itu.

Suara isakan kecil dari bibir Nitara membuat Anggara tersenyum getir. Tidak satu hari pun dalam tiga tahun ini ia berhenti memikirkan Nitara, wanita manis yang ia hancurkan hidupnya.

Menarik selimut untuk menutupi tubuh wanita itu, Anggara lalu bangkit. Pandangannya memindai ruangan kamar berukuran 6 ×5 meter itu. Senyum getir lagi-lagi terbentuk di bibirnya, ruangan ini berantakan tapi ia yakin tak lebih berantakan dari hidup wanita itu. Dengan menghela napas Anggara beranjak ke sudut ruangan mengambil sapu, bersiap membersihkan dan merapikan tempat tinggal Nitara agar bisa terlihat lebih layak.

****

Anggara menatap wanita yang kini terduduk sambil memeluk kakinya di atas karpet di samping tempat tidur yang juga Anggara duduki. Ia ingat saat pertama kali melihat gadis yang harus ia sebut wanita kini, mengingat ialah lelaki yang merenggut kegadisannya. Baiklah Anggara memang harus memanggilnya wanita.

Rambut Nitara sebahu, di-curly dan di cat berwarna coklat tua. Matanya selalu nampak berbinar dengan senyum merekah di bibir setiap teman-temanya menggoda Nitara. Dia nampak seperti wanita lainnya yang suka berdandan meski tak berlebihan, tapi sekarang wanita di depannya sungguh nampak berbeda. Rambutnya berwarna hitam legam panjang hingga nyaris menyentuh pinggulnya dengan pony yang jelas menghalangi pandangan karena terlalu panjang. Mukanya pucat dan jangan harapkan ada make up apalagi mata yang selalu nampak berbinar itu karena wajah polos dengan mata nyaris memandang kosonglah yang begitu menikam Anggara.

"Hujan."

Anggara menatap keluar jendela kamar yang kini dibasahi air hujan saat mendengar bisikan lirih itu. Kamar kos Nitara tidak bisa dikatakan cukup besar, ditambah dapur mini yang bersebalahan dengan kamar mandi. Tempat tidur kecil dengan karpet menunjukkan bahwa Nitara tak menerima tamu di kamarnya. Sebuah mesin jahit dengan tumpukan kardus berisi berbagai kain perca, manik-manik, jarum, benang dan entah apa pun lagi namanya sudah Anggara rapikan sekarang. Gulungan kain berukuran cukup besar lelaki itu tempatkan di pojok samping mesin jahit. Tak ada meja rias, hanya satu lemari pakaian berukuran kecil di samping mesin jahit Nitara sedang tembok di depan tempat tidur tak dihiasi apa pun, mungkin karena di samping tembok itu adalah pintu masuk. Di bagian dapur sendiri terdapat meja cukup panjang terbuat dari kramik yang berisi rak kecil serta sebuah kompor tunggal. Benar-benar menyedihkan. Mi instan memenuhi bak sampah yang ada di dapur dan tentu saja sudah Anggara bersihkan pula. Dia menghabiskan nyaris dua jam untuk membersihkan dan merapikan tempat tinggal wanita mungil ini.

"Minumlah, kamu tadi tidak makan siang."

Anggara menarik sudut bibirnya saat melihat Nitara melirik ke arahnya. Mug putih yang berisi seduhan energen rasa kacang hijau itu nyaris dingin karena sama sekali tak disentuh wanita yang kini penampilannya mengingatkan Anggara pada sosok hantu wanita di film horor jepang, Sadako.

"Apa tujuanmu melakukan semua ini?"

Untuk beberapa detik Anggara terdiam, ia memikirkan rangkaian kalimat yang akan diutarakan agar wanita itu memahami mengapa dirinya seperti manusia tidak tahu malu masih berada di kamar wanita yang telah ia hancurkan. "Aku merasa bersalah."

Nitara menatap Anggara lalu kembali melempar pandangannya ke jendela yang kini ditampar air hujan yang menderas. "Kamu tidak sepenuhnya salah. Aku yang menggodamu bahkan di rekaman video itu aku yang menarikmu ke ranjang dan membuka bajumu bukan?" Lelaki itu kehilangan suara, tak menyangka bahwa Nitara bisa begitu santai megungkap apa yang mereka lakukan yang jelas merupakan aib besar untuk wanita itu. "Bahkan ketika tubuh kita pertama kali menyatu, aku berada di atas tubuhmu."

Anggara menelan ludahnya, rasa panas menjalarinya dengan cepat. Lelaki itu tidak akan melupakan kenikmatan yang pernah mereka bagi bersama bahkan ada malam-malam di mana Anggara mengingatnya sebagai sesuatu yang menakjubkan dan tak akan ia sesali jika saja bisa melupakan fakta bahwa itulah yang membuat Nitara terluka.

"Meski tidak bisa menguasai akal sehat dan tubuhku malam itu, tapi aku sadar sepenuhnya saat semua itu terjadi. Aku yang memulai semuanya jadi kamu tidak perlu merasa bersalah."

Suara wanita itu tenang, terlalu tenang hingga nyaris menunjukkan bahwa tidak masalah dengan apa yang sudah terjadi, tapi melihat bagaimana mata itu kini berkaca-kaca Anggara tahu bahwa Nitara menyesali semua yang sudah terjadi.

"Benar, semua yang kamu katakan benar." Nitara kembali menatap Anggara membuat laki-laki itu mengeraskan rahangnya melihat ekspresi lelah diwajah wanita itu. "Tapi mengetahui semua yang kamu alami atas apa yang kita lakukan, bukanlah hal yang bisa membuatku hidup tenang."

"Jangan hidup dalam rasa bersalah."

"Katakan itu jika kamu sudah berhenti hidup dalam tumpukan rasa penyesalanmu."

Kali ini Anggara melihat bagaimana mata Nitara menajam dengan bibir yang gemetar, lelaki itu telah mengenai sasaran. Dengan pelan Anggara beringsut medekati Nitara lalu merengkuh wanita itu dalam pelukannya.

"Kamu pantas merasa menyesal, dan kamu berhak marah pada keadaan, mereka juga pantas melabelimu wanita tolol dan murahan. Tapi ingat, di atas semua kekacauan itu, kamu bisa memilihku, sebagai seseorang yang siap menerima dan menemanimu menghadapi semuanya. Aku akan di sini, sekalipun apa yang kita lakukan salah dan kamu merasa muak padaku, tapi tetap pilihlah aku, datang hanya padaku lalu bagi semua rasa sakitmu denganku."

Tidak ada jawaban dari Nitara, tapi bagaimana wanita itu semakin membenamkan wajahnya di dada Anggara, membuat ia tahu bahwa wanita itu tak punya pilihan selain memilih dirinya.

PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang