PADAM 1

20.1K 2.4K 131
                                    

Nitara tergesa, langkahnya cepat dan lebar. Dengan kepala yang dilindungi tudung jaket serta ditundukkan, wanita itu berharap lelaki yang kini mempercepat langkah mengejaranya berhenti dan berfikir ia salah orang. Satu belokan lagi di gang sempit ini sampai akhirnya ia sampai di indekos tempatnya bersembunyi dari cercaan dunia.

Niatara meyakini ini adalah hari tersial dari rentetan hari-hari yang memang selalu sial dalam hidupnya. Jika tahu bahwa akan bertemu dengan lelaki itu, ia bersumpah akan menunda pengiriman paket itu, atau ia akan memilih jasa ekspedisi lain meski akan membutuhkan jarak yang lebih jauh untuk bisa sampai ke kantor tersebut.

Nitara tak tahan, suara langkah yang bergema di belakangnya membuat wanita itu memutuskan berhenti berpura-pura, dengan satu tarikan nafas besar ia memutuskan berlari menuju lantai tiga di kamar paling ujung nomer tiga puluh. Wanita itu sempat menoleh saat kakinya sampai di depan pintu kamar kosnya. Dengan tangan gemetar dan mata melebar melihat lelaki yang merupakan perwujudan penghisap kebahagiaanya itu kini tengah berlari mendekat.

Berhasil!

Pintu terbuka dan Niatara menyibak cepat, menyelinap seperti angin dan berusaha mendorong sekuat tenaga sebelum sebuah kaki yang tertutup converse warna hitam menghalagi pintu yang hendak tertutup.

"Kita perlu bicara!"

Suara itu berat, mengingatkan Nitara pada suara desahan yang membuatnya menjadi sampah kini. Desahan terkutuk!

Wanita itu kembali mendorong, bahkan kini ia menggunakan badannya yang tidak terlalu tinggi dan jelas kurus untuk menutup pintu. Usaha yang sia-sia karena dalam satu dorongan lelaki itu membuat Nitara mundur beberapa langkah dengan tangan yang tak lagi menyentuh pintu. Ia jelas kalah tenaga.

Suara pintu yang tertutup di belakang lelaki itu dan ekspresi putus asa yang kini dapat dilihat Nitara dalam wajahnya tak juga membuat rasa tak suka wanita itu berkurang.

"Aku hanya perlu bicara!"

Nitara memeluk dirinya, memandang lelaki itu dengan kilat menolak yang tak berusaha ia tutupi.

"Aku tak ingin bicara denganmu!"

"Kamu harus!"

"Aku tidak memiliki alasan untuk keharusan yang kamu katakanan!"

Suara Niatara meninggi dengan nada sinis yang kini mengiringinya.

"Kita punya lebih dari satu alasan untuk berbicara dan aku tak keberatan menjabarkannya."

"Jangan katakan!"

"Kenapa tidak? Bukankah aku lelaki yang menyebabkan batalnya pernikahanmu, penyebab kamu dicampakkan kekasihmu, alasan kamu terpaksa meninggalkan keluargamu. Iya, Aku lelaki di video itu dan yang bercinta denganmu sekaligus lelaki pertamamu."

Nitara memandang lelaki itu pias, seolah kebenaran yang tadi dimuntahkan padanya telah mampu membabat seluruh energi penolakan wanita itu. Wanita itu terduduk di lantai kramik murah nan dingin sambil memeluk dirinya yang merasa begitu lemah dan tak berdaya.

Ia memandang lantai yang putih bersih dengan tatapan kosong sebelum tertawa terbahak-bahak nyaris seperti manusia kehilangan akal. Dan ketika hantu masa lalu yang meleburkan impiannya itu berjongkok di depannya, memandang prihatin dengan rasa bersalah di matanya, Niatara mengamuk sekuat tenaga. Ia mencakar, memukul, menggigit bahu lelaki itu, menjambaki rambutnya di tengah geraman dan raungan tangis putus asa yang terdengar begitu menyayat. Setelah tiga tahun lamanya akhirnya wanita itu menemukan kesempatan melampiaskan rasa sakit pada orang yang tepat.

PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang