"Sebentar!" kataku sambil berlari ke arah kamar mencari cermin kecil lipat yang memiliki penyangga dibagian belakangnya.

Dengan senyum jahat dan penuh dendam aku kembali ke hadapan Bram. Meletakkan cermin di atas meja di hadapannya dengan wajah tanpa dosa yang kubuat-buat.

"Supaya kamu enggak salah naro obat di muka kamu," kataku. "Keliatan kan lukanya?" ucapku datar yang disambut Bram dengan terbatuk. Batuk tidak percaya yang dibuat-buat.

Biarin!

***

Bram berulang kali menjulurkan kepalanya ke dalam kamar. Dan ketika melihat Aria yang masih belum juga bangun, dia kembali lagi ke ruang depan dan duduk di atas sofa. Di sebelahku yang sedang asyik menonton gosip artis sambil ngemil kacang.

"Aria lama amat ya bobonya?" keluhnya dan kemudian meringis. Aku menoleh, rupanya dia sedang menyentuh luka di ujung bibir.

"Dia syok liat bapaknya jadi jagoan," sahutku asal sambil memasukan kacang ke dalam mulut dan kembali menatap ke arah layar teve.

"Ck!" Bram berdecak. "Keburu kesel liat muka Ryan," gerutunya. "Udah gitu sok cool. Kayak kegantengan aja!" tambahnya jengkel.

"Emang ganteng," sahutku yang disambut dengan jitakan di kepala.

Dengan sangar aku menoleh ke arah Bram. "Kok dijitak?" tanyaku tidak terima.

"Mata kamu kelilipan. Kayak Ryan apanya yang ganteng? Ampun deh!" Bram menatapku dengan pandangan aneh.

"Loh, emang dia ganteng!" balasku tidak terima.

Hah! Bram ternganga seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Aku jadi kesal. Enggak terima kalau calon ladang uangku dihina-dina.

"Sinting kamu!" sinis Bram.

"Kamu yang sinting!" sewotku enggak terima dibilang sinting.

Aku jadi kepikiran. Bagaimana kalau Ryan juga babak belur dan tahu bahwa Bram adalah mantan suamiku? Bisa-bisa dia batalin aku jadi modelnya karena kesal. Terus aku enggak jadi punya uang besok. Dan tabunganku semakin hari semakin menipis, sedangkan belum ada lagi panggilan wawancara kerja. Bencana dong buat aku?

"Pokoknya dia enggak ganteng!" sentak Bram lagi.

Sebenarnya apa sih masalah di antara mereka sehingga Bram begitu antipati pada Ryan?

"Dia bakal kasi aku kerjaan! Aku butuh kerja, Brammmm!! Jadi dia ganteng!!" Gemas aku jadinya.

Bram terdiam. Menatap lekat wajahku seakan sedang mereka-reka sesuatu.

"Aku sudah kasi kamu kerjaan, tapi kamu nolak." Dia terdengar kecewa. "Tapi kamu terima kerjaan dari Ryan. Kok aku kecewa, ya?"

Bukannya iba dengan wajah Bram yang nampak terluka karena aku menolak pekerjaan darinya, aku malah merasa kembali dipermainkan karena Bram tidak juga peka soal apa dan kenapa yang terjadi di antara kami.

"Kamu enggak juga menjadi seorang yang peka meski kamu sudah menjadi manusia yang lebih sukses," kataku pelan sambil bangkit dari duduk. Aku enggak tahan lagi duduk berdampingan sambil adu pendapat mengenai hal-hal yang seharusnya sudah dia tahu tanpa harus bertanya.

"Pokoknya aku enggak mau kamu kerja sama dia, Laya!" seru Bram seakan memberi ultimatum padaku.

Aku yang baru saja berdiri, urung melangkah dan malah berbalik untuk menatapnya yang masih duduk menatapku dengan wajah sengit.

Dengan sebal aku menowel pelipisnya yang sekarang penuh dengan obat merah. Bram segera meringis, mungkin nyeri karena aku menowel lebamnya dengan sedikit keras. Memang sengaja. Lalu aku juga menowel ujung-ujung bibirnya. Aku melakukannya berkali-kali karena kesal. Dan Bram, seberusaha apa pun dia menjauhkan wajahnya aku selalu berhasil menyentuhnya dengan towelan penuh siksaku.

Ini hukuman untuk mulutnya dan egonya yang tidak bisa dijaga. Siapa dia bisa seenaknya menentukan apa yang boleh dan tidak untukku?

"Cukup!" sentaknya kemudian membuat aksi towel kesalku terhenti. "Jangan kayak anak kecil!" dia memperingati sementara aku menarik tangan dan meletakkannya di belakang tubuh.

"Kamu yang kayak anak kecil," sanggahku. "Lupa ya, Bram? Kamu udah enggak punya hak atur-atur aku. Hak kamu udah gugur sejak sepuluh tahun yang lalu," ucapku membuat mulutnya bungkam seketika.

"Jangan pernah lupa," ujarku lagi memperingatkan. "Kalau sikap kamu kayak gitu, bisa-bisa aku mikirnya kamu lagi cemburu!"

"Emang!!"

Eh?

Lagi. Waktu seakan berhenti dengan aku yang terbelalak dan Bram yang membekap mulutnya sendiri dengan telapak tangan.

Syukurnya, tangisan Aria dari dalam kamar membuyarkan semuanya.

Saved by the cry.

Tbc

Hai! Follow IG dan FB aku, ya!
Idnya : verlitaisme

Jangan lupa juga untuk vote, comment and shares kalau kamu suka sama cerita ini.

Thank you!
Verlitaisme. 😘

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitWhere stories live. Discover now