Sampai depan pintu kutarik kenop dan membukanya lebar.

"Kamu enggak diterima di sini," kataku sambil menggerakkan kepala, isyarat agar dia ke luar dari apartemen.

Bram melongo, menatapku tidak percaya.

"Keluar," kataku tanpa meninggikan suara sama sekali, "lagian kok bisa-bisanya kamu tahu alamatku?"

"Kamu nulis alamat kamu dengan jelas di aplikasi lamaran," jawab Bram.

Ah! Benar juga.

"Ya sudah. Keluar!" sebutku lagi.

Aku bisa melihat jakut Bram bergerak-gerak.

"Aku ... diusir?" tanyanya pelan-pelan yang kujawab dengan anggukan dan senyum lebar.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

Aku menghela napas. Padahal aku sudah menjabarkan alasanku tadi. Aku mengusirnya karena dia tidak kuinginkan berada di sekitarku. Aku enggak mau mantan suami yang sekarang lebih segala-galanya dariku, tiba-tiba hadir lagi dan mulai ganggu-ganggu hidupku lagi.

Masa dia enggak sadar? Kapan sih kepekaannya bisa terasah?

"Pergi saja pokoknya!" Aku menarik tangannya dan mendorongnya ke luar.

Tapi ketika aku hendak menutup pintu, Bram segera menjegal dengan telapak kakinya. Gerakannya cepat juga.

"Apa lagi?!" hardikku lewat celah yang tersisa.

"Jadi sekretarisku. Hubungan kita bakal profesional," pintanya lagi dengan terburu-buru.

"Enggak!" tolakku sambil mencoba mendorong pintu. Tapi kakinya masih menjegal, membuatku kesulitan.

"Ya udah!" sahutnya terdengar menyerah.

Aku pikir setelah itu dia akan menarik kakinya. Tapi ternyata perkataan Bram selanjutnya malah membuatku kembali naik pitam.

"Tapi permintaan maafku tadi, diterima enggak?"

Dengan segala kekuatan yang kupunya, kudorong pintu kuat-kuat. Aku bisa mendengar Bram menjerit kesakitan sebelum akhirnya menarik kakinya kalau tidak mau tulang di telapaknya patah.

Dasar mantan enggak peka!!

*******

Aku ke luar dari mini market di bawah apartemen dengan waswas. Bahkan sebelumnya kuintip dulu dari dalam, takut kalau ada seseorang yang tidak kuharapkan tiba-tiba muncul lagi di hadapanku.

Kuremas plastik berisi mi instan yang baru saja kubeli, kutarik resleting jaketku hingga menyentuh leher, untuk kemudian berjalan dengan penuh waspada.

Benar deh, kalau ketemu Bram sekarang, nafsu makan malamku bisa hilang sama sekali.

Aku pikir keadaan sudah baik-baik saja ketika aku merasa kalau ujung baju bagian belakangku ditarik-tarik oleh seseorang.

Dengan terkejut aku segera berbalik. Tidak ada siapa pun. Tapi ketika ujung bajuku masih saja ditarik, akhirnya aku menunduk.

Aria sedang menggenggam ujung bajuku. Dia menengadah ke arahku dengan wajah pucat dan kening berkeringat.

Berkeringat? Malam ini terlalu dingin untuk bisa berkeringat.

"Aria??" Aku langsung berlutut, mengusap keningnya yang benar-benar basah. Wajahnya benar-benar pucat dan sekarang matanya semakin melebar.

Ada apa, Aria?

"Aria!!" Sekarang aku benar-benar panik karena tiba-tiba dadanya membusung dengan mulut yang terbuka.

Aria kesulitan bernapas!

Sial! Mana Bram? Mana semua orang? Kenapa aku cuma sendirian di sini?

"Ariaaaa!!!" pekikku ketika melihat bocah kecil itu mulai kepayahan.

Dengan segenap tenaga kudekap tubuh kecilnya.

"Tolongggg!! Tolongggg!!!" teriakku panik.

Ada apa dengan Aria? Tolong Aria ya, Tuhan!!

"Tolonggg!!!" jeritku lagi tepat ketika aku mendengar teriakan Bram.

"Saku celananya, Laya!! Saku celana Aria!!" seru Bram memberi petunjuk.

Aku mendongak, Bram ada beberapa lantai di atasku. Akan sangat lama bila menunggunya turun.

Dengan tangan gemetar aku meraba saku celana Aria, rasanya sulit sekali menjangkau saku celananya karena pikiranku yang sepenuhnya kalut.

Tanganku menyentuh sesuatu di salah satunya. Dengan bergetar kurogoh saku celana Aria. Dan menemukan benda kecil itu. Inhaler.

Aku meletakkan Aria di pangkuanku. Anak itu nyaris tidak sadar dan terus berkeringat.

Astaga, Bram. Mengapa lama sekali?

Dengan gemetar aku membuka mulut Aria, mengocok-ngocok inhaler sebelum menyemprotnya ke dalam mulut.

Aku bisa melihat bocah kecil itu mulai tenang. Matanya tidak lagi membelalak. Tapi wajahnya masih pucat dan keringat masih mengucur.

Apa semprotannya kurang?

Aku hendak menyemprot sekali lagi ketika seseorang meraih tanganku.

"Sudah cukup." Bram berlutut di hadapanku. Dia mengambil alih Aria dari pangkuanku. Anak itu segera merangkul ayahnya. Aku bisa mendengar napasnya yang perlahan menjadi stabil.

"Aria sudah oke?" Bram bertanya seraya mengusap punggung anaknya.

Aria menjawab dengan anggukkan lemah. Jelas dia masih kesulitan untuk bicara.

Aku tertegun. Apa yang sebenarnya terjadi barusan? Aria yang kepayahan di dekapanku? Bagaimana kalau tadi Aria--

"Aria ... kenapa?" tanyaku masih syok dengan kejadian barusan.

Bram tersenyum lalu bangkit berdiri sambil menggendong Aria. Aku mengikuti dengan pandanganku tanpa beranjak dari lututku.

"Terima kasih, Laya," katanya tanpa menjawab pertanyaan. "By the way, kok kamu bisa tahu kalau pakai inhaler harus dikocok dulu?"

Mataku mengerjap. "Aku cuma mau mastiin, kalau inhalernya, ada isinya."

Tbc

Verlita's speaking:

Btw, aku mau ganti judul cerita ini. Kira-kira kalau ganti judul, apa yang bagus?

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitWhere stories live. Discover now