"Anda sudah dipanggil tiga kali. Kalau enggak butuh pekerjaan enggak usah melamar. Jarang-jarang pimpinan kami sampai ke luar ruangan dan menghampiri kandidatnya sendiri," ketusnya.

Dengan lunglai aku bangkit dari duduk. Tanpa menanggapi perkataan si judes, aku berjalan ke luar. Kapan hidupku bakal jadi bener?

*******

Kopi pahit murah dari mini market selalu menjadi andalan di saat gundah. Kali ini aku sengaja beli di mini market tempat Ruri bekerja.

Duduk di salah satu kursi yang di susun menghadap jendela, merenungi kembali nasibku yang malangnya bertubi-tubi.

Tidak lama Ruri sudah duduk di sebelahku.

"Kenapa manyun gitu?" tanyanya sambil mengikat rambut keritingnya naik.

Aku tidak menjawab, hanya menghela napas panjang sambil menatap gelas plastik kopiku.

"Kalau enggak mau curhat, ngapain jauh-jauh ke sini? Mau nemenin gue kerja?" sindirnya sambil meraih gelas kopiku dan menyesapnya.

"Itu punya gue ...," kataku tanpa tanda seru.

"Stress ya, lo?" Ruri meletakkan kembali gelas ke atas meja di hadapanku.

Aku mendunduk. "Kenapa gue harus ketemu sama Bram?" desisku putus asa.

Ruri berdecak. "Jadi ini gara-gara mantan laki lo yang kekanakkan itu?

"Dia pernah menikah, punya anak, punya perusahaan sendiri dan sekarang keliatan 100 kali lipat lebih keren daripada dulu pas gue ceraiin,"--kuhela napas--"nah ... gue?"

Ruri mengusap punggungku. Lalu rambutku. Aku tahu dia sedang mencoba menenangkanku.

"Lo juga keren, kok," hiburnya. "Walaupun lo belum nikah, enggak punya anak dan sekarang jobless. Lo tetep keren. Seenggaknya itu menurut gu--"

Ruri tidak dapat melanjutkan ucapannya karena keburu kubekap mulutnya dengan telapak tangan.

"Makasih pujiannya, tapi itu enggak ngebantu," sebalku. Yang ada Ruri hanya membuatku semakin yakin kalau aku kalah telak dari Bram. Dia sama sekali enggak menghibur.

Ruri menepis tanganku karena seorang pelanggan masuk ke dalam mini market. Dengan cepat dia bangkit dari duduk. Sebelum kembali ke balik meja kasir, dia berbisik.

"Seenggaknya lo punya mobil dan bisa sewa apartemen. Enggak kayak gue masih numpang di rumah ortu."

Aku enggak tahu lagi, apakah itu sebuah pujian atau justru hinaan keras. Tapi menurutku itu adalah sindiran. Menemui Ruri hari ini sama sekali tidak membantu moodku jadi lebih baik.

Setelah menghabiskan kopi dan melambaikan tangan ke arah Ruri, aku beranjak dari mini market. Tujuanku satu. Apartemen.

Mau pulang, cuci muka terus tidur. Lalu berdoa semoga kesialan tidak terus membuntuti.

*******

Pintu lift terbuka. Dengan gontai dan kepala tertunduk aku berjalan ke arah unit apartemen. Sesampainya di depan pintu, yang kuyakin adalah pintu apartemenku, aku malah menangkap sepasang kaki berdiri di sana. Sepatu pantofel hitamnya terlihat berkilat.

Dengan lesu dan tidak terlalu ingin tahu, aku mendongak. Dan wajah yang menghantuiku berhari-hari belakangan ini berdiri di sana dengan wajah tanpa ekspresi.

Dia hanya menatapku yang membeku beberapa detik membalas tatapannya.

"Hari sialku belum berakhir," gumamku sambil mendorong tubuh tingginya ke sisi pintu. Membuka pintu apartemen dan membiarkan dia mengekoriku masuk.

Kudengar suara pintu menutup di belakang. Kedua kaki kuhentak bergantian sehingga sepatu yang kukenakan terlepas sembarang. Tas yang sejak tadi tercangklong kulempar ke atas sofa.

Setelah berdiri membelakangi Bram untuk beberapa saat, akhirnya aku berbalik, menatapnya yang masih berdiri di dekat pintu.

Demi apa pun, aku benci matanya yang menatapku dengan prihatin.

"Ada apa, Tuan Bram Herawan yang terhormat?" tanyaku sarkasme. "Mengapa beberapa hari belakangan kamu selalu saja berputar-putar di sekitarku?"

Bram menghela napas. Tapi ketika mulutnya membuka hendak mengucapkan sesuatu, aku malah menyerobot.

"Dan demi Tuhan, apa yang kamu ajarkan kepada Aria? Bagaimana dia bisa tahu yang namanya seksi?" geramku.

"But ... you are--"

"Brengsek Bram! Brengsek!" pekikku yang kali ini tidak kutahan-tahan.

Bram membungkam mulutnya, sementara batinku masih penuh pergumulan tapi tidak mampu mengatakan apapun. Aku benci pria ini. Aku ingin dia tidak pernah muncul lagi di hadapanku. Aku ingin dia menghilang selamanya dari hidupku.

"Jadi apa alasanmu datang ke mari hari ini?" tanyaku perlahan akhirnya ketika hening terasa begitu lama barusan.

Bram mengulurkan salah satu tangannya. Ada bungkusan es krim yang aku tahu rasanya cokelat vanila. Sama seperti yang kemarin Aria genggam.

"Ini ... kesukaanmu," katanya.

Aku terdiam. Es krim cokelat vanila. Kesukaanku. Dan dia ingat.

"Jika kamu memberikan itu karena kasihan padaku, sebaiknya jangan ...," ucapku memohon. Demi apa pun, jangan berikan aku penghinaan baru.

"Aku mau minta maaf," Bram berkata sambil bergerak maju. Hanya selangkah karena aku segera memberi isyarat agar dia berhenti.

"Untuk masa delapan bulan pernikahan kita yang membuatmu tersiksa, dan untuk masa sepuluh tahun kesendirianmu. Aku meminta maaf untuk semuanya ...."

Tbc

My Dearest Widow(er)/Dearest You - Terbitजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें