12

30.9K 5.8K 1.1K
                                    

Warning for mention depression and suicidical.

***

Dulu, Ibuku sempat memarahiku yang dengan tidak tahu diri memilih jurusan Kedokteran. Awalnya kupikir karena biaya kuliah yang benar-benar mahal, namun rupanya itu karena dia berkata mengenalku cukup dekat hingga sadar bahwa karakterku terlalu egois untuk menjadi dokter.

Dan kemurkaan Ibu bertambah saat aku mengatakan memilih jurusan kesehatan jiwa, ingin menjadi Psikiater. Aku memberitahu Ibu alasan kenapa aku memilih Kesehatan Jiwa bak itu merupakan pilihan acak yang kupilih dalam sekali pejaman mata.

"Menjadi Psikiater itu butuh empati, Song Yoojin."

"Memangnya aku kurang berempati?"

"Ya, kau bahkan tidak punya empati karena menjadi Dokter demi uang."

"Semua orang bekerja demi uang, Ibu."

Lalu Ibu semakin marah dengan isi otakku yang tidak pernah jauh-jauh dari uang. Kata Ibu, menjadi Dokter merupakan pekerjaan mulia dengan tujuan utama membuat orang sehat, menyelamatkan nyawa atau membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik. Orang yang sedang berada antara hidup dan mati yang tengah kau tangani bisa jadi berarti kebahagiaan buat yang lain. Dan menyelamatkan mereka berarti membantu mereka untuk bahagia.

Urusan gaji dan uang itu belakangan.

Tapi aku tumbuh begini, dengan mindset bahwa uang berarti banyak untuk membuat hidupku bahagia, terang-terangan mengatakan pada teman sejawatku bahwa aku melakukannya demi gaji yang bisa membuatku cepat kaya.

Sebetulnya waktu kecil, aku termasuk yang percaya bahwa uang bukan segalanya. Uang juga tidak bisa membeli kebahagiaan. Karena kebagiaan terlalu berharga untuk dibayar dengan uang. Sayangnya, ketika aku beranjak dewasa, terlalu banyak hal yang membuatku paham bahwa itu nyaris tidak mungkin bahagia ketika perutmu kosong.

Makanya aku mulai melakukan beberapa hal untuk uang. Aku menjadi dokter karena gajinya. Aku juga berteman dengan Sehunie karena uang yang diberikan Sehun. Apakah itu salah? Aku bahkan tidak merugikan orang lain atau mencuri.

Namun, Ibu marah-marah lagi setelah aku bercerita apa yang terjadi antara diriku beserta Oh Sehun dan alters-altersnya. Ya, aku menceritakan pada Ibu hampir semuanya, termasuk penyakit yang diderita Sehun dan kepribadian lainnya yang masih bayi yang selama ini kurawat. Persetan denga kode etik, ini telah menyangkut masalah pribadi dan aku hampir mati.

Berharap Ibu akan membelaku karena aku memang benar dan bersedia mengusir Sehunie yang merengek di depan rumahku, seperti yang kuminta. Sayangnya, yang kudapati malah sebaliknya.

"Kenapa kau jadi tidak berperasaan begini, hah?" Ibu makin emosi, apalagi sejak tadi aku menjawabnya dengan tampang tidak peduliku.

Lagipula, kenapa Sehunie harus menyusulku sampai ke rumah Ibu sambil merengek segala? Dia pikir dramanya masih mempan kepadaku?

"Dia hampir membunuhku, Ibu." aku mengulang alasanku lagi kenapa aku tidak bersedia sekedar menemui Sehunie meskipun dia telah merengek-rengek di lantai teras rumahku seperti orang paling menyedihkan di dunia. Ibuku saja sampai prihatin melihatnya, "apakah itu rela melihatku mati sia-sia sebagai korban pembunuhan?"

"Dia sakit, Song Yoojin. Dia pasienmu. Bukan dia yang ingin melukaimu. Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa mental, bahkan ketahanan tubuhnya seperti anak umur 5 tahun meskipun dia berada di tubuh orang dewasa?!"

"Biar saja, Ibu. Dia akan baik-baik saja. Dan dia bukan pasienku, jadi bukan tanggungjawabku."

Ibu terdiam beberapa waktu, menatapku tidak menyangka, kami sudah berdebat cukup panjang. "Kau memang seharusnya tidak menjadi Dokter." dia mengatakan itu dengan nada kecewa lalu berjalan menuju pintu kamarku.

Bitter BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang