4. Makan Dimana Lagi?

85.5K 10.4K 211
                                    

"Warteg sebelah kantor, Pak," jawabku jujur. Seketika wajah Pak Revano berubah, keningnya berkerut dan bibirnya melengkung sinis.

"Enggak ada pilihan lain?" tanyanya masih dengan wajah meremehkannya. Bos aneh, dia sendiri yang tanya mau makan apa. Giliran dikasi pilihan, malah enggak mau.

"Enggak ada, Pak. Cuma disitu satu-satunya tempat makan yang bisa bayar dengan duit sepuluh ribuan," sahutku. Kalau selevel dia sih, mau makan dimanapun enggak perlu pikir. Nah aku dengan gaji pas-pasan yang hanya setara tunjangan jabatannya, harus bisa mengatur menu makanku setiap hari.

"Saya yang traktir! Cari makan yang berkelas sedikit dong," ujarnya. Aku meliriknya sekilas. Huh dasar sok kaya, diajak makan murah enggak mau. Mana aku tahu jika disuruh memilih tempat makan dengan seleranya yang seperti itu.

"Tapi saya lagi pengen makan disitu, Pak," kataku dengan wajah memelas.  Wajahnya semakin berkerut.

"Enggak!" Dia tetap bersikeras.

"Kita kebetulan lagi jauh dari kantor, ngapain kamu balik ke kantor lagi cuma makan makanan yang dimanapun bisa kamu temui," lanjutnya. Aku tersenyum masam. Kalau makan jauh dari kantor, jangan-jangan setelah ini dia masih mau mengajakku prospek nasabah. Padahal aku sudah eneg setengah hari bersamanya. Enggak asyik nih si Bos.

"Ya sudah kalau gitu, Bapak aja yang tentukan mau makan dimana," sahutku lemah. Dia tersenyum penuh kemenangan.

--

"Jangan lupa tinggalkan kartu namamu." Dia meneguk air mineralnya dengan perlahan.

Aku kira dia akan mengajakku makan di restoran ternama di Jakarta atau paling enggak yang saat bayar tagihannya bisa buat perut mulas saking mahalnya. Ternyata dia hanya membawaku ke rumah makan Padang yang bahkan di dekat kantor juga ada.

Seperti dugaan awalku, dia pasti berencana membawaku untuk mencari nasabah baru. Dilihat dari tingkah lakunya yang sok berbasa basi dengan pemilik rumah makan tadi, aku yakin dia pasti mengincar pemilik rumah makan Padang ini. Masa pakai tanya cabe sekilo berapa, enggak penting banget basa-basinya.

"Pakai kartu nama Bapak aja," ujarku sambil menyeka mulut dengan tisu.

Sebagai marketing, aku enggak asal kasih kartu nama buat calon nasabah.  Harus calon nasabah yang benar-benar terseleksi. Aku sudah pernah diteror calon nasabah gara-gara asal menyebar kartu nama yang berisi nomor ponselku. Dari sok ngajak kenalan sampai marah-marah gara-gara kecewa sama produk bank. Memangnya aku call center?

"Loh tujuan saya ngajak kamu makan disini biar bisa ngelobi pemilik rumah makan ini." Wajahnya tampak tidak senang.

"Tapi kan tadi Bapak yang ngelobi, bukan saya," sahutku.

"Jangan suka pilih-pilih nasabah." Dia menatapku tajam.

"Saya enggak pilih-pilih nasabah, Pak. Cuma enggak sreg aja sama calon nasabah yang Bapak pilih," kilahku.

"Sama aja," katanya ketus. Aku menundukku kepala, pura-pura takut menatapnya.

"Saya enggak suka nasi Padang, Pak. Masa tiap prospek ke sini, saya mesti pura-pura makan nasi Padang yang saya enggak suka," ujarku dengan suara pelan. Wajah Pak Revano kontan berubah. Dia seperti sedang menahan tawa tapi pura-pura berlagak angkuh.

Jadi marketing itu harus banyak menguasai trik. Kalau nasabahnya punya toko pakaian, paling enggak sebelum prospek, beli satu atau dua baju dari tokonya. Baru deh setelahnya bisa basa-basi nawarin produk. Yang gawat kalau nasabahnya dealer mobil, paling aku cuma bisa senyum-senyum sambil elus-elus mobilnya.

"Enggak harus makan disini juga kali," sahut Pak Revano.

"Kamu bisa ngobrol hal-hal yang disukai nasabah sampai mereka enggak canggung lagi. Ciptakan kedekatan sama nasabah bukan keterpaksaan." Waduh, si Bos ini malah ceramah.

Aku mengusap keningku yang berkeringat karena efek makanan pedas. Aku tidak suka makanan pedas, karena selalu sukses mengacaukan riasanku dengan keringat yang bercucuran.

"Lain kali kita makan di tempat yang kamu suka aja," kata si Bos tiba-tiba. Aku mengangkat wajahku. Lain kali? Ini yang terakhir!

"Kenapa enggak bilang kalau kamu enggak bisa makan pedas," lanjutnya.

"Percuma, Pak," sahutku. Bapak kan tipe tukang paksa paling yahud.

"Ya sudah ayo balik ke kantor. Saya ada janji dengan direktur BPR Persada," katanya kemudian. Aku menarik napas lega. Syukurlah, aku kira dia akan mengajakku keliling Jakarta lagi dengan kondisi badanku seperti habis disauna.

Aku buru-buru beranjak dari dudukku dan menuju parkiran sebelum Pak Revano memaksaku meninggalkan kartu namaku di rumah makan ini. Lagipula aku sebagai pihak yang ditraktir lumayan tahu diri kok dengan enggak mau tahu berapa tagihan makan kami tadi.

"Sudah cukup dinginnya?" tanyanya saat di mobil sambil menurunkan temperatur pendingin mobil. Sebelum sempat aku menjawab, dia mengambil beberapa helai tisu dari atas dashboard mobil dan menyerahkannya padaku. Aku menatapnya bingung, tanganku bahkan lebih dekat untuk menjangkau tempat tisu itu.

"Besok ajak saya kalau kamu mau makan di warteg sebelah kantor," ujarnya sambil menyalakan mesin mobil.

--

26 Agustus 2018

Duh My Boss! (Pindah Ke Innovel/Dreame)Where stories live. Discover now