1. Awal Dari Pertemuan Selanjutnya

234 16 1
                                    

Tuhan selalu mempunyai banyak cara untuk membuat suatu pertemuan, salah satunya kita, untuk kali pertama jumpa disaksikan ribuan bintang di angkasa.

Chapter 1- Awal Dari Pertemuan Selanjutnya

Mungkin seharusnya ia tidak melalui jalan ini hanya karena malas untuk memutar lebih jauh. Harusnya ia paham sebelum mengambil keputusan melintasi jalan sepi dimalam hari seperti ini. Terlebih lagi ia adalah seorang perempuan.

Harusnya tadi ia melindas saja orang yang pura-pura pingsan saat ia melintasi jalan ini. Mungkin ia akan terkena masalah, namun rasanya itu lebih baik dari pada harus berurusan dengan dua orang berpakaian preman yang menatapnya penuh minat ini.

"Serahin tas dan kunci mobil lo!" kata preman botak berbadan cukup besar. Dia mengenakan kaos oblong dengan jaket denim lusuh dan bolong-bolong. Sementara di sampingnya berdiri preman dengan rambut sedikit gondrong, namun berbadan lebih kecil. Penampilannya tak jauh berbeda dengan preman botak itu. Keduanya cukup untuk membuat Dilara bergidik ngeri dan mundur teratur.

"Ck. Buruan!" sentak preman yang kurus itu.

Dilara yang semula memegang erat sling bag-nya langsung membukanya dan mengeluarkan ponselnya dari sana, lalu menyerahkan tasnya itu pada si preman. "Nih ambil," serunya, menjaga suaranya agar tidak bergetar ketakutan. Kalau ia terlihat takut, pastilah kedua preman ini semakin semena-mena.

"Hapenya juga, cantik." Si botak itu memang tidak tahu diuntung, sudah bagus ia mau memberikan tasnya yang berisi uang tunai lebih dari lima ratus ribu dan juga mobilnya.

"Kalau hape gue juga lo ambil entar gue pulang gimana? Gue kan juga butuh hape buat minta jemput." Oke, katakanlah Dilara itu bodoh. Memberikan tas dan kunci mobilnya dengan cuma-cuma pada preman sialan ini. Tapi yang Dilara tahu, masih ada banyak mobil yang ia miliki. Jadi kehilangan satu jazz bukanlah masalah besar. Ia masih ingin hidup dibandingkan harus mati konyol ditangan preman ini.

"Baru kali ini ada mangsa yang berani nawar-nawar kayak lo." Preman botak itu menggeleng-geleng takjub.

"Tapi kayaknya sih lo emang anak orang kaya." Preman yang kurus menatap selidik Dilara dari atas sampai bawah, lalu berhenti lama menatap wajahnya. "Cakep bener lagi. Bening."

Radar bahaya Dilara berbunyi keras dikepalanya saat melihat kedua preman itu saling pandang dan tersenyum penuh arti. Oh Tuhan, tolong kirimkan malaikatmu untuk menolong Dilara. Dilara meracau dalam hati.

"Mau apa lo, hah? Semuanya udah gue serahin. Jadi silakan pergi dan lepasin gue!" Dilara berteriak ketika kedua lengannya dipegangi oleh preman itu.

"Belum semuanya, cantik. Lo belum serahin diri lo." Preman botak itu mengucapkannya dengan nada menjijikan seraya berusaha membelai wajah Dilara.

"Jangan sentuh gue!" Dilara semakin berteriak dan memberontak. Namun tenaganya tentu sangat jauh kalahnya dibanding kedua preman ini. Sekeras apapun ia tidak akan pernah menang melawan mereka. Satu orang cewek melawan dua orang cowok dewasa.

Dilara bukan seorang wonderwoman!

"Tolong... tolong!!!" Dilara berteriak. Menendang-nendang. Memberontak sekuat tenaganya agar tangan-tangan menjijikan itu terlepas dari lengannya. Namun percuma. Ia sedang berada di daerah yang gelap, senyap, dan sunyi. Tak terlihat ada rumah-rumah warga yang ada hanya semak-semak dan lahan kosong dan luas di sisi kanan dan kiri jalanan. Teriakannya seolah percuma saja. Teredam terbawa oleh angin malam.

Dilara tak ingin membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Apalagi percakapan kedua orang tak berhati nurani in semakin menambah kadar ketakutannya.

DilargaWhere stories live. Discover now