37

2.5K 433 889
                                    

Calum

Doa penutup kegiatan tutor sudah dibacakan oleh Zakiy, sehingga Dokter Yana segera meninggalkan ruang kelas kecil kami. Gue menoleh pada Jana yang duduk di ujung ruangan, berjarak tiga kursi dari tempat gue. Ia sedang sibuk mengelap lensa kacamatanya.

"Na," sapa gue yang membuat Jana buru-buru memakai lagi kacamatanya itu.

"Kenapa?"

"Makan?"

Jana kemudian merapikan cepolan rambutnya yang agak berantakan, lalu menjawab, "Ngga, deh."

Sebulan terakhir ini, gue merasa Jana menghindari gue. Kalau gue tidak salah mengingat, Jana jadi seperti ini sejak acara tahlilan Mas Almer. Sudah cukup lama, apalagi gue bertemu Jana hampir tiap hari di tutor dan lab. Lantas, perbedaan sikap Jana ke gue ini jadi kian terasa.

"Na, lo udah lama banget, loh, ngediemin gue gini. Udah sebulan," tandas gue pada akhirnya ketika gue sadar di ruangan ini hanya tersisa kami berdua.

"Ngediemin lo apaan, sih? Biasa aja."

"Perjanjian kita waktu itu udah ga berlaku, kan, Na?" tanya gue. "Terus kenapa lo giniin gue?"

Jana menyampirkan tasnya di bahu, kemudian ia memundurkan kursinya dan bangun dari duduk. "Ngomong apaan, sih?"

Gue menghalangi jalan Jana untuk keluar. Demi apapun, gue ingin menahannya agar ia menjelaskan pada gue apa yang sebenarnya ia pikirkan.

"Misi," pinta Jana yang tidak gue hiraukan.

"Na, gue ga tau gue salah di mana, tapi kalo lo tau, please kasih tau gue."

Jana menatap gue seakan gue adalah orang asing. Lalu ia berkata, "Terlalu banyak. Udah, sih, misi."

Gue sepertinya tidak bisa menahan Jana untuk tinggal lebih lama lagi. Maka, gue membuka jalan untuknya keluar dari ruangan tutor ini.

Kalau ada yang bikin gue lebih bingung daripada Jana, sudah pasti orangnya adalah Michael, Bene, dan Gendis. Mereka bertiga sama sekali tidak membantu gue untuk memperbaiki hubungan gue dan Jana yang rusak entah karena apa. Tiap kali gue coba bicara pada mereka, ujung-ujungnya pasti topik obrolan kami berganti.

Karena tidak ada titik cerah sedikitpun dari Michael, Bene, dan Gendis, maka gue berani untuk menanyakan langsung pada Jana barusan. Namun, apa yang gue dapat? Jana yang dingin. Jana yang seperti benci dengan gue.

Apa yang membuat lo jadi seperti ini, Na? Apa yang belum gue ketahui?

Selama gue kuliah di sini dan jauh dari rumah gue di Bogor, gue mulai menemukan diri gue sendiri. Gue diberi kesempatan untuk berkenalan dengan orang-orang yang memicu gue menjadi versi terbaik dari diri gue sendiri. Michael, Bene, Gendis, dan Jana. Bersama mereka, gue mengetahui banyak sisi baru dalam diri gue yang sebelumnya tidak terjamah. Gue jadi tahu bahwa gue bisa merasa seperti keluarga dengan orang yang baru gue kenal kurang dari setahun.

Terutama Jana. Dengan Jana, gue jadi tahu bahwa gue bisa menyayangi orang hingga sebegininya.

And then, Andari. Perempuan yang sedang terlelap di kursi penumpang di samping gue ketika gue mengendarai mobilnya ini juga membuat gue sadar bahwa kadang, liburan itu perlu! Haha. Ada-ada aja memang, cewek yang satu ini.

Tadi pagi, saat gue bertemu Andari di kantin, ia sedang berdiri di depan gue untuk mengantre di kasir. Langsung saja gue tepuk bahunya yang membuat ia menoleh.

"Eh, Calum!" sapa Andari balik dan gue bisa melihat dua buah risol mayones di tangannya.

"Sarapannya itu doang?" tanya gue.

Down the Road ➳ 5SOS | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang