10

2.7K 454 449
                                    

Jana

Usia gue masih delapan tahun saat gue menonton Mas Almer tanding taekwondo pertama kali. Gue ingat perasaan gue yang campur aduk melihat tendangan lawan bersarang ke tubuhnya. Berulang kali bokap dan nyokap menenangkan gue, bilang bahwa Mas Almer baik-baik saja karena memakai body protector.

Meski gue meringis ketakutan saat itu, beberapa hari kemudian, gue meminta Mas Almer untuk mengajari gue sedikit gerakan taekwondo. Sejujurnya, jika Mas Almer melanjutkan karirnya di bidang tersebut, gue yakin sekali ia akan menjadi atlet yang cemerlang.

"Ini ap chagi, Dek," kata Mas Almer yang saat itu duduk di bangku kelas 5 SD selagi ia menuntun gue dengan gerakan yang asing bagi gue.

Gue hanya mengangguk sambil terus berusaha mengikuti gerakan yang dicontohkan oleh Mas Almer. Mungkin saat itu gue boyo banget kali, ya. Latihan tiga puluh menit, dua hari berturut-turut, lalu tidak pernah lagi hingga saat ini hampir sepuluh tahun kemudian.

Di sela-sela latihan kami, Mas Almer memijat pergelangan kaki gue yang tidak sengaja terkilir. Sebelum itu, jelas ia menertawai gue terlebih dahulu.

"Kamu kalo udah gede, harus jadi orang yang kuat ya, Dek," katanya sembari memangku kaki gue. "Tapi harus dipake yang bener. Jangan buat nyakitin orang lain, tapi biar orang lain ngga nyakitin kamu."

Mungkin itu yang dilakukan Calum tadi, saat meninju wajah Tian berkali-kali di tempat billiard. Bedanya, Calum melakukan itu agar orang lain tidak menyakiti sahabatnya.

Gue baru saja selesai menggoreng chicken nugget untuk makan malam saat tiga pesan Calum masuk ke handphone gue, membuat gue buru-buru melahap chicken nugget itu walau masih panas.

Calum Hood: Jana
Calum Hood: Maaf ngerepotin
Calum Hood: Tapi gue butuh lo

Jana Husada: Apa kenapa di mana
Jana Husada: P
Jana Husada: P
Jana Husada: WOI

Calum Hood: Ke apt Bene aja
Calum Hood: Gendis udah otw juga

Dengan itu, gue meraih sweatpants terdekat dan mengganti celana pendek gue dengannya. Rambut gue dicepol seadanya dan kamar gue ditinggal berantakan. Sudahlah, gue juga tidak begitu peduli. Di pikiran gue sosok Calum, Michael, dan Bene melintas bergantian saat gue berada di boncengan ojek online. Kemungkinan-kemungkinan terburuk mengenai keadaan mereka menghantui gue.

Saat gue sampai di unit apartemen Bene, Calum dan Michael sedang mengompres luka masing-masing. Sedangkan Gendis yang sudah sampai lebih dulu sedang mengusap punggung Bene yang sepertinya masih kesal atas kejadian tadi.

Hal pertama yang gue lakukan setelah gue melepas sandal dan menutup kembali pintu unit Bene adalah memeluk Michael setulus-tulusnya karena sudah pasti ia yang paling tersakiti hari ini walau Calum yang bonyok paling parah.

Michael menenggelamkan wajahnya di pundak gue. Sebelah tangannya yang tidak memegang kompres merengkuh tubuh gue. Gue hampir meneteskan air mata saat Michael membisikkan sesuatu di telinga gue.

"I'm not okay, Na...," katanya lirih.

Gue memeluknya seerat yang gue bisa. Gue ingin dia sadar bahwa semua akan baik-baik saja dan kami di sini bersama-sama. Hal seperti ini sama sekali bukan hal sepele. Astaga, tidak ada yang tahu bagaimana gue ingin sekali datang ke depan muka Tian dan mencacinya tanpa ampun untuk kekacauan yang ia perbuat.

"Udah, Na," bisik Michael sembari mengendurkan pelukan kami. "Gapapa, gapapa."

Gapapa bagian mananya sih?

Down the Road ➳ 5SOS | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang