30

2.2K 413 497
                                    

a/n: lagu di mulmed adalah salah satu lagu yg melekat di hati gue banget. dengerin yaa!

Jana

Seperti menganggap duka ini bukanlah suatu masalah besar, gue berusaha kembali ceria saat berpapasan dengan teman-teman sekampus gue. Hampir seluruhnya mengungkapkan ucapan belasungkawa yang entah harus gue balas dengan respons seperti apa. Gue selalu begitu saat menerima empati dari orang lain walaupun niat mereka baik. Gue hanya tidak tahu caranya berdamai dengan rasa kehilangan.

Kegiatan tutor baru saja selesai setelah jam dinding tepat mengarah ke angka duabelas. Aysha yang duduk di samping kiri gue sedang merapikan kertas-kertasnya yang berceceran hingga hampir bercampur dengan catatan gue.

"Na, mau makan bareng?" ajak Aysha seperti ingin terus menghibur gue.

Gue menggeleng pelan. "Gue belum laper, Sha."

"Bener, nih, Na?" sahut Zakiy yang sudah menyampirkan ranselnya di sebelah bahu.

"Iyaaa," jawab gue berusaha meyakinkan mereka padahal gue hanya ingin menyendiri.

Teman-teman gue yang lainnya sudah berhamburan ke luar kelas tutor, menyisakan seorang lagi di samping kanan gue yang belum memindahkan pandangan matanya dari gue sejak tadi.

"Yakin belum laper?" goda Calum saat gue bangkit dari tempat duduk. "Perut lo udah gendangan dari tadi kali. Gue denger ya."

Gue terbahak sejenak, lalu kembali memasang raut wajah serius. "Males makan, ah."

Calum tidak langsung menjawab yang membuat gue merasa canggung. Gue sebenarnya lelah berpura-pura seakan gue sudah kembali seperti sedia kala. Gue ingin berteriak, gue ingin menangis, gue ingin bersandar.

Gue ingin Mas Almer kembali.

"Ya udah kalo lo belum mau makan," kata Calum pada akhirnya saat ia menyusul gue keluar kelas tutor.

Tadi pagi, gue berangkat pagi-pagi ke stasiun untuk berpenuh sesak dengan orang-orang lainnya yang juga menaiki KRL dengan jurusan yang sama. Calum, Michael, Bene, dan Gendis sudah pulang dari malamnya, tidak lama setelah gue bertemu dengan Luke dan memintanya pulang. Begitu juga Atun yang memang sudah memesan travel ke Bandung dengan jadwal paling malam karena hari ini ia ada kelas yang tidak bisa ditinggalkan.

Omong-omong Luke, gue belum mendengar apa-apa lagi darinya. Ia pasti mengerti gue tidak ingin diganggu. Jujur, gue tidak tahu apa yang gue rasakan semalam saat Luke tiba-tiba menampakkan diri di hadapan gue. Gue seperti... mati rasa. Maka, gue hanya memeluknya sambil menangis karena gue sudah terbiasa dengan Luke yang selalu jadi tempat gue berlindung saat rasanya diri gue sendiri sudah runtuh.

Selama enam tahun gue bersama dengan Luke, bukan tidak pernah perasaan gue surut terhadapnya. Gue, sebetulnya, adalah orang yang sangat mudah goyah kepercayaannya. Seperti saat tahun-tahun awal kami menjalin hubungan dan gue dengan bodohnya cemburu karena Luke sibuk dengan pencalonan ketua ekstrakurikuler futsal SMP gue. Luke seperti mengesampingkan gue waktu itu yang membuat gue berpikir mungkin memang gue dan dia tidak akan berhasil.

Tapi, namanya juga Luke. Ia punya seribu satu cara untuk meluluhkan lagi hati gue, mengembalikan lagi rasa percaya gue terhadap hubungan kami.

Gue hanya bisa tersenyum pahit saat mengingat masa-masa itu. We had a really good teamwork back then. Gue ragu, Luke yang menguatkan. Luke butuh tempat cerita, gue yang mendengarkan. Everything seemed so perfect.

Rasanya getir sekali membicarakan ini dengan past tense. Gue jadi ingin menangis di tengah-tengah perjalanan gue ke rumah kos ini. Haha. Bingung juga gue kenapa gue jadi cengeng banget belakangan.

Down the Road ➳ 5SOS | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang