1

8.1K 784 668
                                    

Calum

"Lab Histologi diundur jadi hari Rabu. Kelompok B1 free ya," kata Dhifa, ketua kelas di angkatan kami mengenai perubahan jadwal mendadak yang disambut sorakan bahagia oleh kelompok yang disebutkan —kelompok gue.

Sambil memasukkan buku catatan yang nggak ada isinya karena cuma difungsikan untuk memberatkan tas, gue menoleh pada perempuan berambut sebahu di samping gue yang masih sibuk berkutat dengan buku catatannya.

"Masih nyatet?" tanya gue padanya.

"Nyatet dosa-dosa lo," jawabnya dengan nada yang khas, yang selalu menyertai kalimat seorang Jana Husada, si jutek yang udah jadi temen gue sejak zaman Ospek hingga detik ini.

Gue menunduk, membaca tulisannya di buku keluaran Miniso itu walau kalau gue boleh jujur, tulisan Jana susah banget dibaca. "Dosa-dosa Calum," ujar gue menyindirnya karena saat gue lihat, Jana sedang merekapitulasi uang kas kelas tutor kami. "Satu, terlalu ganteng. Dua, terlalu charming. Tiga, terlalu..."

"Terlalu bacot ah," kata Jana, akhirnya menutup bukunya dan menyampirkan tas hitam di pundaknya. "Cabut dah."

Jana berjalan mendahului gue, menyusuri tangga yang menyusun lantai auditorium ini, menjadikannya sebuah ruangan dengan kursi yang makin ke belakang makin tinggi layaknya teater bioskop. Gue mengekor di belakangnya, sesekali melayangkan bro-fist pada teman-teman gue yang lainnya saat tidak sengaja berpapasan.

"Mau ke mana, Cal?" Jana memperlambat ritme langkahnya, menunggu gue untuk berjalan beriringan dengannya. Haha, I wish.

"Ngga tau," jawab gue. "Mau makan?"

"Mau sih, tapi lo belom bayar kas tutor."

"Ngga nyambung, Janur," kata gue sambil menoyor pipinya pelan.

"Eh seriusan tapi bayar. Nanti nyetak makalah pake duit apaan?"

"Iya nanti gue bayar." Gue mulai menuruni tangga. "Beneran mau makan ngga nih?"

"Tanya yang lain dong pada di mana," kata Jana dengan 'yang lain' berarti Michael, Bene, dan Gendis.

"Bentar," jawab gue menurut. Selalu. Selalu tiap tentang Jana.

ANTI NGULANG BLOK CLUB (5)

Calum: Woy sat pd di mana

Benedictus A: Aku sama Gendis lagi bucin dong hehe bye all
Benedictus A: Ngga lab kan?

Michael GC: Skip cuyy
Michael GC: Eh demii ga lab?
Michael GC: Untung ga masuk td gue HAHA

"Kebiasaan." Jana menghela napas saat membaca chat room grup LINE kami melalui handphone gue. "Yaudah berdua aja."

"Ya emang dari tadi," jawab gue dengan sedikit senyum kemenangan karena gue sekali lagi bisa makan siang berdua doang sama Jana karena kebucinan dan kemageran teman-teman gue tersayang. "Yuk, belom makan dari pagi nih gue."

"Yaudah puasa aja sekalian."

"Hah? Ga bisa kan tadi udah minum."

Gue melirik Jana yang kacamatanya melorot mulu itu. Gemes banget sampai kadang harus gue bantu naikin lagi ke tempatnya. Kadang Jana diem aja, kadang dia abis itu nepok tangan gue sambil misuh-misuh karena katanya tangan gue bau ayam. Ya abis kan waktu itu kacamatanya turun pas kita lagi makan di McDonald's.

Lengan panjang kemeja Jana digulung sebatas siku, memperlihatkan sebuah gelang berwarna cokelat di pergelangan tangan kirinya. Sering kalau lagi berdua aja sama Jana gini, gue berpikir kapan akan tiba saatnya gelang tersebut tanggal dari tangannya dan diganti dengan gelang dari gue. Terdengar jahat dan nggak suportif sih, apalagi Jana adalah salah satu temen baik gue. Tapi, oh God, I can do better than her boyfriend yang katanya udah jalan enam tahun tapi nyatanya, yang tau Jana lagi apa, Jana makan apa, Jana tidur jam berapa itu gue.

Down the Road ➳ 5SOS | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang