35

2.4K 438 459
                                    

Luke

I ended it, foolishly.

Sebegitu lemahnya gue untuk mempertahankan Jana yang sudah gue yakini akan menjadi perempuan yang menemani gue sampai tua. Lalu apa? Gue melepaskannya demi menuruti segala rasa tidak percaya diri gue yang tidak rasional.

Setelah gue pikir-pikir, mungkin gue bukan kalah dari Calum, melainkan kalah dari pikiran dan diri gue sendiri. But, what can I do? Gue tidak sanggup membayangkan kemungkinan yang bisa saja terjadi jika gue dan Jana tetap bersama.

Bagaimana jika suatu hari nanti, frekuensi kami berkomunikasi jadi lebih jarang dari ini? Bagaimana jika Jana akhirnya sadar bahwa perasaannya pada gue memudar? Bagaimana jika akan timbul masalah yang membuat gue dan Jana malah jadi saling benci?

Bagaimana jika. Pertanyaan itu berputar di otak gue seolah sedang berdansa meledek gue yang kebingungan mencari jawabannya.

Jadi, gue memutuskan untuk menyudahi saja hubungan ini sebelum pertanyaan sampah di kepala gue itu jadi nyata. Gue ingin berpisah dengan cara yang baik, jika itu membuat gue punya kesempatan untuk kembali pada Jana suatu hari nanti.

Setelah gue memarkir mobil di garasi rumah, gue mengambil tote bag berisi bekal yang tadi Jana titipkan pada gue, lalu turun dari mobil. Jelas, gue tidak kuat jika harus menyetir ke Bandung dengan perasaan kalut seperti ini. Maka, gue memutuskan untuk pulang ke rumah gue di Tebet.

Di tengah sunyinya komplek rumah gue karena waktu sudah hampir larut malam, gue menekan tombol bel rumah yang langsung saja pintunya dibukakan oleh Mama yang ternyata masih terjaga. Tadi, sesaat setelah gue sampai di Jakarta, gue langsung menuju ke rumah untuk bertemu Mama sebelum pergi ke rumah Jana. Gue sebenarnya sudah bilang bahwa mungkin setelah acara tahlilan Mas Almer selesai, gue akan langsung pulang ke Bandung. Tetapi, nyatanya pamit gue itu gue tunda hingga esok hari.

"Nak, katanya mau langsung ke Bandung?" tanya Mama.

Seketika itu juga, masih di pintu depan rumah, gue memeluk Mama sekencang-kencangnya. Mama seperti terkejut, tetapi beliau tetap memeluk gue balik dengan tangan tidak henti-hentinya mengusap punggung gue.

"Luke sama Jana udah ga bareng, Mam," bisik gue hati-hati, takut mengecewakan Mama mengingat kedekatan beliau dan Jana.

Tangan Mama berhenti mengelus punggung gue saat kalimat tersebut gue ucapkan. Beliau pasti tidak menduga kalimat itu akan meluncur dari mulut gue karena selama ini, gue tidak pernah cerita macam-macam padanya. Gue hanya ingin Mama mendapat kabar anak laki-lakinya ini baik-baik saja di tanah rantau. Gue tidak ingin menjadi beban pikiran Mama. Terlebih, gue pikir, gue bisa menemukan jalan keluar atas masalah gue sendiri.

Memang betul, gue mendapat jalan keluar itu. Jalan keluar terburuk yang dengan bodohnya gue ambil.

"Mam, Luke boleh tidur sama Mama malem ini?" tanya gue setelah pelukan kami usai.

Dengan anggukan Mama, ada rasa lega yang hinggap di benak gue. Lega itu tidak berlangsung lama karena ia hilang saat gue melewati ruang keluarga di mana ada foto gue dan Jana bersampingan dengan foto Papa dan Mama, Bang Jack dan Kak Celeste, serta foto Bang Ben (yang ini sendirian).

Dada gue sesak membayangkan bahwa sebenarnya, kami bisa saja jalan terus. Dengan segala hal yang telah kami lalui berdua, I know we were almost there.

We were almost there, Na.

Gue tahu, dengan pulang ke rumah ini, gue akan kembali diingatkan tentang Jana dan hari-hari yang kadang kami habiskan di sini karena malas bergabung dengan manusia-manusia lainnya di Jakarta dari satu mal ke mal yang lain.

Down the Road ➳ 5SOS | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang