3

4.2K 592 698
                                    

Luke

Jana Arum H.

Husada, Hemmings, yang mana aja cocok.

Perempuan yang wajahnya kini terpampang di layar ponsel gue masih sibuk mencepol rambutnya. It's funny how time works, isn't it? Dulu, jarak gue dan Jana hanya sebatas tiga baris siswa saat upacara tiap hari Senin, yang kadang juga gue baris di barisan kelas Jana untuk curi-curi ngobrol, sedangkan sekarang jarak kami harus dipisahkan tol seratus kilometer lebih. Nggak jauh sebetulnya. Tapi untuk gue dan Jana yang terbiasa sama-sama dari enam tahun yang lalu, rasanya asing menjalankan hubungan seperti ini.

"Kuliah apa tadi?" tanya gue padanya.

"Fisiologi penglihatan," jawabnya. "Nggak ngerti juga ya."

"Aku sambil makan ya." Gue meraih mangkuk berisi mi instan yang gue buat tadi. "Kamu udah?"

"Udah tadi," sahutnya. "Kamu hari ini mau ngapain?"

Gue mengendikkan bahu. "Tadi ada Ashton sih, katanya mau main FIFA. Lagi di kamar Andy dia, aku usir."

"Parah."

"Biarin."

"Luke," panggil Jana pelan, lalu suaranya seperti diulang-ulang di kepala gue.

"Iya?"

"Engga...." Jana tersenyum samar. "Pulang dong."

Gue tertawa hambar mendengar nada bicaranya yang seperti merajuk. Sudah dua minggu terakhir Jana selalu mengangkat topik mengenai kepulangan gue karena terakhir gue ketemu Jana adalah bulan Januari, sedangkan sekarang sudah masuk bulan Maret.

Sebenernya, gue nggak mau menyalahkan siapapun, atau apapun, atas kondisi kami sekarang. Gue dan Jana sedang mengejar mimpi kami masing-masing. Jana dengan impiannya menjadi dokter spesialis radiologi, gue dengan mimpi gue bekerja di either Pertamina, Chevron, atau Exxon, makanya gue memilih Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ini. Lalu, apa yang salah dengan itu?

Bandung, kota yang gue tinggali sekarang, has always been my favorite city ever. Terlebih, tahun 2016 lalu, gue dan Jana menyempatkan datang ke LaLaLa Festival di Pine Forest Cikole, menonton Kodaline yang merupakan salah satu band kesukaannya.

"Awas itu lumpur, Na," ujar gue sembari terus melingkarkan lengan di pinggangnya, menuntunnya agar tidak menginjak tanah basah yang terguyur air hujan.

Jana tertawa. "Ah, udahlah. Peduli amat sama sepatu. Nanti tinggal dicuci."

"Mending kalo sepatu doang ya. Kalo kamu stuck di lumpur aku ga mau angkat."

"Telepon kali diangkat."

"Jemuran juga diangkat."

"Aduh untung lo cowok gue, Luke," ujarnya sambil menepuk pelan bahu gue.

Malam itu, di tengah manusia-manusia lain yang juga menyaksikan Kodaline di antara pohon-pohon pinus dan udara Cikole yang sejuk, gue dan Jana menatap panggung dengan jemari saling bertautan.

Malam itu, gue dan Jana, juga Kodaline yang seolah-olah sedang mengiringi kisah kami dengan lagu The One-nya.

"Na, it's okay if you want to let go. Tangan aku suka keringetan emang," kata gue berulang kali, takut membuatnya tidak nyaman dengan tangannya di genggaman gue.

Jana tersenyum, lalu tangannya yang satu lagi mendarat di lengan gue, membawanya lebih dekat pada gue. "I like it this way."

'Cause you make my heart feel like it's summer
When the rain is pouring down
You make my whole world feel so right when it's wrong
That's why I know you are the one

Down the Road ➳ 5SOS | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang