DUA

3.7K 224 19
                                    

"Gue emang single, belum punya pacar. Iya, bener. Tapi bukan berarti setiap ada cowok single mampir lo tawarin ke gue dong."

¤¤¤¤¤

"Ganteng nggak itu cowok?"

Gue langsung mendongak, menatap Bang Bima yang kini berdiri tepat di sebelah tempat gue duduk. Pria dengan wajah yang tidak bisa dikatakan jelek tapi nggak ridho kalau gue sebut ganteng ini adalah rekan gue. Dia salah satu instruktur mengemudi yang lumayan akrab dengan gue.

Gue hanya menatap Bang Bima pura-pura tak paham.

"Enggak usah pura-pura nggak paham deh, gue tahu lo paham maksud gue," decak Bang Bima.

Gue mendesah lelah. Ya, gue emang paham arah pembicaraan ini, hanya saja gue terlalu malas menanggapinya, jadi gue memilih pura-pura nggak paham. Bisa dibilang semua pria single yang datang ke tempat kursus kami, bakalan disodorin ke gue.

Gila. Gue se-enggak laku itu apa gue, sampai harus ditawarin sana sini.

Gue akui cowok yang baru saja pergi dengan Fortuner putih tadi emang oke. Ganteng, tinggi, kulit cokelat khas orang Indo, dan satu lagi mapan. Dia kerja di BUMN, katanya. Dan dia pernah menikah a.k.a dudes duda pedes. Haha. Hot banget sih tampilannya.

Sekalipun udah termasuk hot daddy versi gue, tapi kata Bang Bima itu laki belum punya buntut, karena mantan istrinya dulu punya masalah sama rahimnya, dan kini sudah tenang di surga. Amin. Semoga aja beneran di surga ya.

"Mau tukeran nomor dulu?" tawar Bang Bima mengajak bernego.

"Enggak," sembur gue galak.

"Ganteng gitu, Va. Material husband banget lagi. Yakin mau lo tolak?"

"Belom tentu juga dia mau sama gue, Bang. Jadi gue nggak nolak kan," kata gue membenarkan kalimatnya.

"Enggak usah merendahkan, nggak cocok sama muka galak lo." Bang Bima memilih pergi meninggalkan gue yang kini sedang menghela nafas lelah. Lelah dengan keadaan yang seakan menekan gue untuk segera menikah atau sekedar memiliki pasangan hidup.

"Lo itu cantik, Va," ucap Bang Bima tiba-tiba sudah duduk di hadapanku.

"Enggak usah muji-muji, gue lagi kere. Nggak ada traktiran," kata gue pura-pura menyibukkan diri dengan ponsel.

"Makannya kawin, biar nggak hidup lo ada yang jamin. Nggak kere gini," cibir Bang Bima sambil berdecak.

Mulut gue menganga dengan reflek.

"Nggak usah mangap-mangap kaya ikan gitu, gue tabrak juga bibir lo." Bang Bima berdesis, sambil mengalihkan pandangannya ke arah jalan.

"Pake apaan, Bang?" goda gue jahil.

"Pake bibir gue. Puas lo?" Bang Bima mencebikkan bibirnya sebal, sementara gue terbahak.

"Pulang kerja, chek-in di hotel depan yuk, Bang." Gue makin gencar menggoda Bang Bima yang memang saat ini sedang puasa batin karena sang istri baru saja melahirkan 2 minggu yang lalu.

"Sialan lo! Gue doain entar pas lo malam pertama lo mens. Mampus!"

Gue kembali terbahak. "Nggak papa. Yang penting lo nggak doain gue mandul," balas gue sambil menjulurkan lidah puas.

"Emang mau kawin juga lo?"

"Kampret! Maksud lo apaan, Bang?" Tanpa pikir panjang gue melemparinya dengan bolpoin. Dan sialnya bisa ditangkap olehnya.

"Jangan lempar-lempar sembarangan, bego. Gue baru jadi bapak, kalo kena mata gue gimana, terus gue buta, lo mau nanggung biaya pengobatan gue. Belum lagi lo harus nanggung biaya hidup anak istri gue. Sanggup lo? Hidup lo sendiri aja melarat gitu," cerocosnya panjang lebar. Mana ngelantur kemana-mana lagi.

"Enggak usah lebay. Muka pas-pasan lo aja nggak kena, gimana mau buta." Gue mendengus tak habis pikir.

"Muka gue emang pas-pasan, tapi seenggaknya gue udah laku. Daripada lo, cantik sih, iya. Body juga oke, macem model gitu. Tapi sayang, bibirnya udah karatan gara-gara lama nggak tabrakan sama bibir cowok. Miris banget hidup lo," cibir Bang Bima sambil tersenyum mengejek.

"Dasar laki kurang belaian," cibir gue sebal.

"Emang. Boleh juga kayaknya kalau nanti pulang kita mampir ke hotel depan." Bang Bima tertawa terbahak sambil memainkan alisnya naik-turun.

"Sialan," umpat gue sebal dan kembali disambut dengan gelak tawa oleh Bang Bima.

****

"Nggak usah baper, Va," sindir Bang Bima tiba-tiba mengagetkanku. Gue menoleh ke arahnya yang kini tengah menahan diri untuk tidak terbahak.

"Kalo mau ketawa nggak usah ditahan-tahan, Bang."

Bang Bima menggeleng, masih dengan usahanya untuk tidak tertawa.

"Nggak enak deh gue."

"Kalo nggak enak kasih kucing."

Dengan gerakan otomatis Bang Bima menoleh ke arah gue, menerjapkan mata beberapa kali, memandangku serius.

"Udah, deh, Va. Sama yang tadi aja, hot duda gitu. Jelas pengalamannya."

Gue kembali memutar bola mata jengah. Malas menanggapi obrolannya yang kian menjengkelkan ini.

"Serah lo deh, Bang."

"Jadi lo mau nih?"

"E-n-g-g-a-k." Gue memepertegas nada bicara, agar ini bapak satu nggak makin ngelunjak.

"Halah, sok jual mahal."

"Jelas. Pelacur aja jual mahal, masa gue yang jelas tersegel gini mau jual murah."

"Nggak ada hubungannya, kampret!"

"Bang Bima mau mi ayam nggak?" Gue memilih mengabaikan umpatannya. Beranjak dari kursi, berniat untuk pergi ke warung sebelah yang menjual mi ayam.

"Kenapa? Mau lo bayarin?" tantangnya dengan muka sewot.

Gue sih nggak mengiyakan, hanya mengangkat kedua bahuku acuh, melenggang keluar ruko.

"Gue Miso," teriaknya kemudian.

"Dibayarin nih?" tanya Bang Bima begitu gue kembali.

Gue menggeleng. "Tapi lo yang kudu bayarin gue."

"Sialan!" umpatnya dengan wajah memerah menahan kesal. Sementara gue jelas terbahak bahagia.

Tbc,

Adore You! (pindah Ke Mangatoon/Noveltoon)Where stories live. Discover now