VI. Damai?

382 65 3
                                    


Banda Neira - Hujan di Mimpi

Irama musik akustik mengalun dengan lembut di dalam ruangan dengan lampu redup ini. Lighting yang sempurna, penampilan band sekolah serta ekstrakurikuler lainnya, menambah indahnya malam Minggu yang biasanya hampa di sekolah ini. Tidak seperti anak sekolah lainnya yang bisa keluar bersama pacar mereka, malam Minggu para siswa di sini hanya ditemani ponsel dan laptop selama 24 jam. Malam keakraban adalah malam Minggu terbaik yang pernah mereka dapatkan.

Sejak awal penampilan hingga akhir, mata Rama tidak berhenti menatap ke arah panggung sederhana yang ada di depan sana dengan berbinar. Seperti anak kecil yang begitu senang menatap puluhan permainan yang ada di taman bermain. Sudut bibirnya itu tidak pernah turun, laki-laki itu terus tersenyum. Menatap semua yang ada di hadapannya penuh kagum.

Gadis berambut panjang yang sedari tadi duduk menemaninya hanya bisa ikut tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan berulang kali. Edel belum pernah melihat manusia seperti ini sebelumnya. Lagu berjudul Andai Kau Tahu milik Kahitna mengalun dengan lembut. Edel memeluk lututnya. Meletakkan kepalanya di atas tangan dan mengamati wajah Rama yang sesekali diterpa lighting. Setiap lekuk wajah laki-laki itu terlihat sempurna dan entah mengapa Edel tersenyum kecil.

Satu hal yang Edel tahu sekarang, penyebab jantungnya menjadi tidak keruan, penyebab suhu lingkungan sekitar meningkat dengan drastis.

Gadis itu telah jatuh, setelah sekian lama.

"Ram, lo enggak pernah lihat ginian apa?" tanya Edel tanpa menurunkan senyum yang mengembang di wajahnya.

Rama menggeleng pelan. "Sejak SD sampai SMP gue homeschooling, gue enggak TK. Pelajaran dasar TK gue diajarin sama Dru. Cuma gue dan Dru, selalu begitu."

"Kenapa?" Edel mengangkat kepalanya, mengubah posisi duduknya tanpa melepaskan tatapannya dari Rama.

"Hanya karena buku dongeng," jawab Rama lalu tersenyum hambar. Senyum yang tak bisa Edel artikan.

"Huh?" Mata Edel melebar, tidak mengerti apa yang Rama maksud. "Orang tua lo?"

"Kami berdua hidup tanpa orang tua sejak kecil, tapi ada seorang pelayan di rumah yang sudah kami anggap seperti orang tua kami sendiri," jelas Rama, menatap Edel samar.

Lalu Edel memilih diam, mencoba mendengarkan apa yang akan diceritakan Rama selanjutnya.

"Entah darimana dan bagaimana, gue juga enggak ngerti sama semua yang terjadi dalam hidup gue, tapi semua itu nyata," Rama menunduk, menatap kedua telapak tangannya. "Dongeng konyol dan gue benci."

"Ada apa sama dongeng itu?"

Rama menghela napas panjang, masih belum berani menatap Edel. "Menurut dongeng yang gue baca itu, akan ada dua bunga yang datang tapi hanya bunga dari gunung yang bisa tumbuh."

Dan, gadis yang duduk di sampingnya itu semakin tidak mengerti akan teori-teori yang Rama katakan. "Gue... enggak ngerti maksud lo, Ram."

"Mungkin bukan lo," Rama tersenyum samar. Membuat dahi Edel berkerut seketika, entah kenapa malam ini Rama yang ia kenal berubah dari sebelumnya.

"Maksudnya?"

Rama memalingkan wajahnya dari Edel, lalu memeluk lututnya. "Lupakan."

"Ram, dongeng yang lo maksud itu apa judulnya?" Edel berusaha menatap wajah Rama, berusaha mencari pembicaraan lain dengan laki-laki itu.

"Belum saatnya lo tahu," jawab Rama dengan nada dinginnya. Membuat Edel tahu bahwa ia seharusnya tetap diam dan tidak mendekat.

Gadis itu kembali ke posisi duduknya, menunduk dan memainkan jemarinya. Sunyi perlahan menyelimuti di tengah keramaian orang-orang yang asik bersenang-senang malam ini. Hingga akhirnya Rama sadar dirinya harusnya tidak bersikap seperti itu pada Edel, apalagi gadis itu tidak tahu apa-apa. Laki-laki itu menatap Edel perlahan, mencoba melihat wajahnya dari balik rambut panjang yang turun bak tirai itu.

You-niverseWhere stories live. Discover now