Chapter 5 - The Reporter Arrived

Ξεκινήστε από την αρχή
                                    

" Kau Chiai— Apa kau menyadari apa yang terjadi kalau mereka benar-benar tergoda— tertarik padamu?" Agaknya seniornya itu memahami kami para kaum laki-laki.

Ia menggeleng dengan mantap, "Tenang-tenang. Ia juga sepaket mengajarkanku bela diri." Ucapnya bangga. Ia kemudian berdeham kecil, "Sekarang giliranku. Bukankah terakhir aku dengar kau berada di Manhattan? Bagaimana dengan nasib Miss Sullivan di Tuscany?"

Aku berpindah posisi bersandar di jendela. Agaknya akan panjang kalau aku ceritakan semuanya dari awal.

"Berkat bantuan pria itu—Amyas, si tengah baya yang mempunyai PUB di Volttera, aku berhasil menjaring kenalan orang-orang penting. Intinya, saat itu aku menerima tawaran Camp di Manhattan. Akan terlalu panjang kalau ku ceritakan sekarang Chiai, Bibi Sullivan sendiri juga telah meninggal dunia."

Matanya membulat menatapku, "Astaga, mengapa kau tidak memberitahuku Keith! Wanita itu.. Miss Sullivan.. Harusnya kita semua bertemu dengannya Keith, mengucapkan terimakasih!"

Chiai terlihat kecewa dengan penjelasan yang aku berikan. Mau bagaimana lagi, wanita itu memang sudah tidak ada terakhir kali aku berkunjung ke Tuscany tiga tahun yang lalu.

"Sudahlah.. kita bisa kembali ke Tuscany saat semuanya berkumpul kembali." Hiburku.

"Seandainya saja aku terus menjenguknya di beberapa tahun terakhir.. Mungkin aku masih sempat memeluknya dengan hangat." Chiai terlihat sendu dengan mata yang berkaca-kaca.

"Sekarang kita hanya bisa mendoakannya saja." balasku bersalah. Ini kesalahanku juga karena bersembunyi dari mereka.

"Baiklah, kau benar." Ia sedikit lega dari sebelumnya. Ia menatapku dari atas sampai bawah, "Omong-omong soal penampilan tadi, mengapa kau merubah bawaanmu menjadi seperti sekarang? Mengapa kau bisa ada di Jepang? Memangnya kau sudah berapa lama disini? Ah, terlebih kau baru mau menghubungiku sekarang-sekarang ini! Kau harus menjawabnya sedetail mungkin Keith!"

"Kau itu, selalu saja bertanya dengan pertanyaan lebih dalam satu tarikan napas. Aku kasian dengan narasumbermu yang mendapati wartawan sepertimu."

Ia terkekeh dengan bodoh, " Ayolah, kau jangan membandingkannya dengan pekerjaanku. Itu menyebalkan."

"Ada alasan tersendiri mengapa penampilanku seperti ini. Intinya, tujuanku berada disini tentu saja karena urusan pekerjaan."

Ia berkata dengan nada yang masih sama, " Dan tentang berapa lama kau sudah tinggal di sini?"

"Tiga tahun."

"Whoa!"teriaknya sambil bertepuk tangan. "Pasti bahasa Jepangmu fasih. Kau keren Keith, pasti kau memiliki bahasa ibu yang lebih dari dua! Ayayay, memang orang sekelas dirimu itu sulit kukejar."

Aku hanya mengedikkan bahu, seperti biasa ia selalu berlebihan.

"Jadi," lanjutnya. "Apa yang bisa aku bantu di sini?" Ia menggoyang-goyangkan jarinya. Ia pasti sudah sangat terbiasa dengan pola pikirku yang memiliki tujuan terselubung. Aku sedikit senang.

"Chiai, di tempat kediamanmu—Shanghai. Orangtuamu pasti pernah menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta KimFarma kan?"

Sudut matanya menatap langit-langit, "Ya. Tentu, lalu?"

"Kau, sebagai anaknya, pasti setidaknya kalian pernah makan di meja yang sama satu atau dua kali bukan?"

Chiai agak sedikit murung mendengarnya, " Yap pernah. Dan aku tidak ingin membahasnya."

Aku menunggu penjelasan selanjutnya, ia mendelik tak suka padaku. "Oh, baiklah Keith. Asal kau tau saja, waktu itu umurku baru 12 tahun. Disaat bersamaan, di hari ulangtahunku, Ayahku menjalin kerja sama bisnis dengannya. Siapalah itu— aku lupa namanya. Orang itu membawa seorang anak laki-laki yang umurnya tidak jauh berbeda denganku. Waktu itu aku masih polos, masih tak tau seperti sekarang. Kau tau apa yang dilakukannya? Ia mengibaskan rokku di hadapan teman-temanku! Aku tau itu hanya keisengan anak kecil, tapi oh ayolah, aku menangis sepanjang malam karenanya. Itu kan pelecehan!"

Chiai terdiam sejenak mengatur napasnya. Mukanya bewarna merah padam. Ia seperti baru saja mengalami kembali masa lalunya. Aku sedikit tertawa melihat tingkahnya.

"Apa hubungannya dengan pembicaraan kita Keith?" tanyanya agak baikan. Kemudian ia mengikat kuda rambutnya yang panjang.

"Ini masih tentang perusahaan itu."sahutku. "Dari sudut matamu sebagai wartawan, apa kau mencium bau-bau tentang mereka akhir-akhir ini?"

Chiai memakan permen karetnya yang kedua, "Kalau yang kau maksud itu tentang alat yang diluncurkannya, beberapa investor besar tampaknya tertarik dengan ciptaan mereka.  Nama—nama alat itu BitPhone kan? Yang digembor-gemborkan memudahkan pekerjaan para apotekernya? Yah, kuakui perusahaan itu memang pantas dijuluki TechnoPlant."

Pernyataanya cukup menarik, "Nah Chiai, apa kau tertarik dengan alat itu?"

Chiai bergeming satu dua detik mengolah maksud ucapanku, "Itulah salah satu tujuanku mau mampir menemuimu. Kau tenang saja Keith, semua hal yang ingin kuketahui pasti akan kuketahui!"

Aku mengangguk mengerti. Ia memang bisa kupercaya.

Mata Chiai menengok ponsel yang digenggamnya, "Ah, sudah hampir jam tiga sore. Kelihatannya aku akan pergi mencari apartemen di sekitar sini. Hmmm.. kalau ada yang ingin kau tanyakan lagi, kau bisa menghubungiku Keith."

Aku mengiyakan tawarannya. Ia kemudian meninggalkan kartu namanya di atas meja.

"Kurasa tiga lantai ke atas masih ada beberapa kamar yang kosong. Kau mungkin bisa tinggal disana." tawarku sambil mengantarnya ke pintu.

Ia mengibaskan tangannya, "Oh tidak terimakasih Keith, kenalanku akan membantuku mencarinya sekarang."

Aku menggangguk paham, "Baiklah kalau begitu. Terimakasih sudah mau datang memenuhi undanganku."

Chiai tertawa lirih, "Cara bicaramu itu baku sekali Keith. Sesekali kau harus menjadi bebas sebebasnya, seperti aku."

Untuk terakhir kalinya ia menyengir kuda padaku, " Ah, dia sudah menunggu di depan. Sampai nanti!"

Ia pergi ke arah lift dan melambaikan tangannya padaku sampai pintu itu tertutup.

Sore ini langit terlihat sangat cerah. Rasanya mendukung sekali berkeliling-keliling kota sambil memperhatikan setiap sudutnya.
Aku mengambil ponselku yang berada di atas nakas.

Aku mengirimi Risa pesan untuk bertemu esok hari—kurasa cuaca akan sebaik hari ini sampai beberapa hari ke depan.

Dalam lima menit ia langsung membalas pesanku.

Risa setuju kalau aku mendatangi apartemennya.
Tentu saja ia tak mengetahui apa-apa tentang maksud kedatanganku.

Dalam percakapan kami, Risa agak menyinggung topik festival Tanabata.
Katanya, di tempat kerjanya akan diadakan perayaan kecil malam hari pukul tujuh. Mereka akan menikmati malam musim panas bersama, sehingga ia menyarankanku untuk datang pukul sembilan.

Aku menyepakati sarannya. Kebetulan, esok hari tidak ada jadwal ke kantor.

Risa mengakhiri pesanku dengan berkata ia harus kembali bekerja.
Dengan berakhirnya itu, aku memasuki kamar.

Aku teringat ekspresi Chiai saat pertama kali melihatku. Ia menatapku asing dan penuh keraguan.

Apa penampilanku ini terlalu menyamai orang lokal?
Tapi memang itulah tujuanku sebenarnya.

Mungkin baiknya aku mengembalikan warna rambutku ke asal esok hari.

Oh atau tidak perlu?

Aku ingat.

Risa tidaklah seperti Chiai.

Ia langsung mengenaliku saat aku memanggil dirinya.

Dan dia langsung memanggil namaku waktu aku menarik lengannya.

Aneh.. 

Dia— memang selalu membuatku penasaran.

Dan itulah yang terkadang membuatku kagum.

Aku tak sabar menemuinya esok.

Kau paham Key?
Dia akan baik-baik saja.

Dan Shirley, kau juga tak perlu mengkhawatirkannya.

Ia akan baik-baik saja.

***

Mixed FeelingΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα