Satu tebasan begitu kuat hingga mengempas Akhilla ke ujung ruangan. Tebasan itu melukai bagian perutnya. Lukanya cukup dalam hingga darahnya keluar banyak—terlalu banyak hingga dia kehilangan orientasi. Pandangannya mengabur dengan seluruh luka berdenyut perih. Kepala dan punggungnya terasa mau remuk karena terbanting ke tembok.

Akhilla rasanya ingin memejamkan mata. Seluruh persendiannya terasa berat. Dia berusaha bangkit, perlahan berhasil berdiri walau akhirnya ambruk ke lantai.

Di tengah itu semua, Akhilla hanya berusaha agar dia tetap tersadar. Namun, rasanya seperti ada sesuatu yang ingin mengambil alih tubuhnya, mengklaim kekuatannya.

Itu dia.

Akhilla menggigil oleh perasaan takut. Bukan takut pada serangan Pangeran Salju, melainkan kepada kesadarannya yang perlahan diambil.

Dia merasa tak bisa melihat apa pun. Kesulitan menggerakkan tubuh. Sesaat kemudian, rasanya tubuhnya digerakkan oleh kehendak lain hingga dia kembali bangkit seolah tak terjadi apa-apa.

Yang Akhilla rasakan adalah terlelap dalam gulita. Seperti tidur panjang. Ketika dia membuka mata, dia kembali merasakan semua bekas lukanya, terutama di perut.

Akhilla menatap ke sekitar. Dia tak lagi berada di lokasi yang tadi. Pangeran Salju sudah tidak ada dalam pandangannya. Yang ada hanyalah reruntuhan bangunan yang Akhilla ingat sebagai kastil Pangeran Salju.

Malam dingin menggigil. Akhilla merasa darahnya sudah kering walau bekas lukanya masih terasa sedikit pedih. Aneh sekali. Dia berjalan dengan waspada mengelilingi reruntuhan, tetapi dia tak menemukan manusia hidup. Hanya ada mayat dari orang-orang Sindikat.

Apa yang sudah terjadi?

Akhilla berjalan ke lokasi yang seharusnya jadi tempat Pangeran Salju bertarung dengannya tadi. Debu-debu reruntuhan membuatnya terbatuk-batuk. Dia mengitari ruangan dan mengangkat reruntuhan, berharap menemukan orang yang masih selamat.

Setelah beberapa saat mencari, Akhilla melihat pita merah yang basah, ternoda darah. Bercak darahnya terlihat jejaknya di lantai, berujung pada area dekat tanah. Akhilla menatap lagi pita itu. Otaknya pun teringat; pita ini adalah pita penutup mata Pangeran Salju.

Dia mengikuti jejak bercak darah itu. Begitu sampai ujung lantai, bersebelahan dengan tanah lapang, dia melihat lelaki itu sedang tergeletak di tanah bersalju. Bajunya yang putih seluruhnya bagai dicelupkan tinta merah. Bau anyir pun tercium. Akhilla yakin lelaki itu pasti habis kehilangan banyak darah. Sudah sekarat. Pertanyaannya, kenapa bisa demikian?

Akhilla berjalan ke arah tubuh yang tergeletak menghadap langit itu. Salju turun menutupi tubuhnya yang bersimbah darah. Akhilla berlutut, mengecek nadinya. Dia masih hidup.

"Hei." Akhilla mengguncang tubuh Pangeran Salju. "Hei, bangunlah."

Di tengah dinginnya cuaca, Akhilla bisa melihat uap putih dari hidung Pangeran Salju—tanda dia masih bernapas. Akhirnya gadis itu kembali mengguncang tubuh yang tergeletak di depanya. "Bangunlah, Zakharya."

Tak lama, ada suara terbatuk kecil. Tarikan napas Zakharya terdengar begitu lemah. Seperti kesulitan mengambil napas. Namun bibirnya membentuk seringai. "Ada apa ini ... Akhilla? Bukankah ... kau ingin aku mati?"

"Apa yang sudah terjadi? Aku tak ingat aku sudah membunuhmu."

"Oh." Zakharya terlihat seperti ingin tertawa, tetapi justru terbatuk dan meringis kesakitan. Akhilla menahan diri untuk tidak membantunya. "Ini ... ulah Mata Darahmu—Mata Darah kita."

"Apa maksudmu?"

"Kekuatan dari Mata Darah ... akan mengambil alih tubuh kita ... jika kita tak mampu melindungi diri sendiri," ujarnya, seperti berusaha untuk tetap sadar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 30, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Darah dan SaljuWhere stories live. Discover now