Akhilla mengernyit, menggeleng-geleng. "Orang jahat?"
"Semua orang itu penjahat, Akhilla. Kau tak tahu siapa yang membuat semua warga di desa anak itu tak bernyawa?"
Akhilla merasa takut mendengar jawabannya. Tapi, dia merasa dia harus mengetahui kebenaran ini. "S-si...apa?"
Zakharya menatapi kobaran api. "Dirinya sendiri."
Sontak, Akhilla membeku. Otaknya seperti dialiri listrik kejut, dan semua memorinya tentang malam pembantaian desanya pun muncul.
Bukan Pangeran Salju yang membantai satu desanya.
Dirinya sendirilah yang melakukannya.
Jantung Akhilla mencelos. Dia lagi-lagi ingin menampik hal ini, tetapi jauh di dalam dirinya, dia tahu memorinya yang muncul ini nyata; dialah yang membantai desanya secara tak sadar.
Sontak, rasanya persendian Akhilla kaku. Dia jatuh berlutut sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Hatinya remuk. Apa yang telah dia lakukan? Tapi kenapa semua warga desa ingin membunuhnya? "Apa semua Inang Mata Darah benar-benar lepas kendali ketika Mata Darah mereka aktif?" tanya Akhilla.
Zakharya mengangguk. "Karena alasan itulah mereka ada hukum untuk mencabut satu mata tiap anak yang merupakan Inang Mata Darah."
"Kenapa cuma satu mata?"
"Karena jika keduanya diambil, para Inang Mata Darah akan jadi sepertiku." Zakharya berlutut, menyejajarkan tingginya dengan tinggi Akhilla. "Kau tahu kenapa aku memancingmu kemari?"
Akhilla sadar kalau penjagaan terhadap Pangeran Salju yang terlalu mudah ini mencurigakan. Dia yakin pasti ini adalah pancingan. Namun karena dia tak tahu jawaban atas pertanyaan tadi, dia pun menggeleng.
"Aku memancingmu," ujar Zakharya, "karena Inang Mata Darah yang abadi hanya bisa dibunuh oleh Inang Mata Darah lainnya."
"Kau...."
"Inang Mata Darah yang kedua bola matanya dicabut menjadi abadi." Zakharya mendekat. "Itulah mengapa ketika ada anak yang ketahuan sebagai Inang Mata Darah, hanya satu matanya yang dicabut. Bukan keduanya. Jika kedua matanya ada, dia memiliki kekuatan untuk melihat kematian. Jika hanya satu bola mata, dia kehilangan kekuatannya. Dan jika keduanya tidak ada, dia justru akan jadi abadi."
Akhilla melangkah mundur. "Tapi kenapa aku membunuh semua orang di desaku?"
"Karena mereka semua berusaha untuk mencungkil satu bola matamu. Kekuatan dari Mata Darah itu juga melindungi inangnya. Kau, aku ... kita membunuh orang-orang desa kita tanpa sadar." Ekspresi Zakharya terlihat meurung. "Desamu sudah terbakar habis ketika aku sampai di sana. Aku hanya melihatmu, terkapar dengan satu bola mata sudah tercungkil."
"Kenapa kau memberikan matamu kepadaku?" tanya Akhilla. "Agar kau bisa abadi?"
"Aku tak menginginkan keabadian." Zakharya tersenyum tipis. "Aku memberikannya agar aku bisa mati, sekaligus mewariskan semuanya kepadamu."
Pangeran Salju meletakkan telunjuknya di dahi Akhilla. Dunia sekitar Akhilla sontak bagai membelah. Seperti gempa. Tulang-tulangnya terasa kesulitan menopang tubuhnya sendiri. Persendiannya terasa kaku dan lemah, tak bisa bergerak.
Dan sedetik kemudian, mereka kembali masuk ke ruangan gelap tempat mereka tadi bertarung.
Semua yang membelenggu Akhilla pun musnah; tubuhnya bisa bergerak bebas lagi di dunia nyata ini. Namun sebelum dia sempat memproses keadaan ini, sebuah tebasan pedang melukai lengannya.
Akhilla mendesis. Lukanya terasa menyengat dan perih. Langkahnya segera menjauh. Mulutnya mulai merapal mantra, tetapi langsung disela oleh serangan Pangeran Salju secara bertubi-tubi. Serangan Zakharya tidak memberikan istirahat.
YOU ARE READING
Darah dan Salju
FantasyAlkisah, di sebuah desa yang damai, mata seorang gadis berganti senada dengan warna darah, dan rombongan Pangeran Salju membantai seisi desanya detik itu juga. All right reserved 2016 by Crowdstroia.
LIMA - END
Start from the beginning
