Cinta yang Lain

330 40 0
                                    

"Aku mencintai suamimu..."

Kalimat yang terdiri dari tiga kata itu menusuk jantungku, seakan disayat ribuan belati. Aliran napasku terhambat, tercekat oleh oksigen yang berkurang. Debaran di dada semakin membuncah. Aku ingin meludahi wajah cantiknya.

Namanya Mera, sahabatku. Tidak. Tidak. Tidak lagi setelah dia dengan lancang memeluk suamiku. Tepat di depanku. Sahabat macam apa itu? Mana ada sahabat yang tega melukai sahabatnya sendiri?

Dulu, saat aku baru pindah ke kota kecil ini, Mera yang lebih dulu menyapa saat anak-anak lain bersikap tak peduli. Mera merangkulku menjadikan sahabat baiknya. Dia sering mengajakku ke rumahnya. Dia mengenalkan aku pada anggota keluarganya.

Suatu hari, dia mengundangku datang ke rumahnya lagi. Ada syukuran kedatangan orang spesial katanya. Tentu saja aku gembira menerima undangan makan-makan itu. Anak rantau sepertiku sangat berbahagia bila mendapat undangan makan. Namun, aku cukup tahu diri. Aku tidak datang tepat di jam makan. Aku datang lebih awal, membantu mereka memasak.
Dia dan kakaknya Jingga begitu cekatan membantu sang nenek. Ibunya? Sudah lama meninggal saat melahirkan Mera. Gadis itu besar tanpa kasih sayang ibu, tapi dia memiliki sifat yang sangat keibuan. Mungkin neneknya berperan dalam hal itu.

"Selesai." Mera bersorak saat selesai menata meja. Dia menatap hasil kerjanya dengan senyum semringah.

"Udah, nggak usah dilihatin terus. Mandi, gih! Kamu mau dipeluk Biru dengan bau yang masya Allah gini?" Mera nyengir kuda, memperlihatkan gigi ginsul kebanggaanya. Dia beranjak, masuk ke kamar. Tak lupa mengajakku serta. Dia memintaku menunggu, mengantre menggunakan kamar mandi.
Selesai mandi, dia memberikan sebuah gamis dan jilbab panjang untuk kukenakan. Aku tidak terbiasa memakai pakaian seperti ini. Namun, aku juga tak punya pilihan lain kecuali menerima dan memakainya. Masalahnya bajuku sudah bau keringat.

Mera tampil cantik dengan gamis merah maron yang sangat pas dengan kulit putihnya. Jilbabnya berwarna senada. Meski tanpa make up, gadis berlesung pipi itu tetap memesona.

Aku sudah selesai berdandan. Mera pun demikian. Namun, gadis itu masih mematut di depan cermin. Senyumannya merekah melihat pantulan bayangan diri. Dia teramat bahagia hari ini. Mungkin orang bernama Biru itu teramat istimewa baginya.

Dia berlari keluar dengan mata berbinar saat terdengar salam. Namun, tiba-tiba dia berbalik. Dia buru-buru masuk ke kamar mandi. Karena penasaran dengan makhluk Tuhan bernama Biru itu, aku melangkah keluar lebih dulu. Tak lagi kupedulikan Mera yang entah apa yang terjadi padanya. Aku ingin melihat sesempurna apa si Biru itu. Apakah dia seindah langit biru? Ciptaan Allah yang membuat setiap wanita melihat akan terpesona.

Di sana, di pintu masuk, berdiri dua sosok tampan berjenggot tipis. Keduanya memakai celana jingkrang. Di samping mereka ada dua ibu paruh baya yang berjilbab lebar.

Aku tak peduli, manakah di antara mereka berdua yang bernama Biru. Mataku fokus pada si rambut ikal. Kulitnya cokelat gelap (karena aku tak mau menyebutnya hitam.)

Aku berdiri mematung, memandang sosok sempurna yang mendebarkan rasa. Mulutku sedikit terbuka. Sungguh! Aku terpesona. Bahkan mataku tak sanggup berkedip. Tepatnya, aku tak mengizinkannya berkedip meski sedetik. Saat itulah, mata abu-abunya melihat ke arahku. Ia tersenyum kikuk. Sedetik kemudian ia berpaling, memutuskan kontak mata di antara kami.

Bersamaan dengan itu, Mera keluar dari kamar. Gadis berlesung pipi itu berlari menghambur ke dalam pelukan si rambut ikal. Aku? Bagai tertimpuk batu besar. Remuk. Kecewa. Baru saja aku berharap bahwa laki-laki bermata abu-abu itu bukan Biru. Baru saja kupanjatkan doa pada sang pemilik hati, meminta jodoh. Tepatnya merengek pada Tuhan agar menjodohkan aku dengan laki-laki berkulit cokelat itu.

Sayang, pupus sudah harapanku. Berbagai spekulasi bermunculan, meremehkan Mera. Bagaimana mungkin gadis dengan jilbab panjang membungkus tubuh, tapi tak menjaga batasan dengan laki-laki. Setahuku Mera tak memiliki saudara laki-laki. Dia hanya punya Jingga, kakaknya. Lalu, apa hubungannya dengan si Biru.

Aku menahan nyeri saat melihat si mata abu-abu mengecup kening Mera. Entahlah! Aku pun bingung dengan diri sendiri. Kenapa aku tak terima jika Mera menempati posisi terpenting di hati si Biru. Aneh? Memang. Bahkan baru pertama kali aku bertemu dengannya, tapi rasa di dalam sana benar-benar bergejolak. Inikah cinta pada pandangan pertama? Mungkin.
Sepanjang kebersamanku bersama keluarga ini, aku lebih banyak diam. Bukan aku sendiri. Teman si Biru yang tidak kutahu namanya itu juga banyak diam. Sedangkan yang lainnya asyik bercerita secara random. Dari cerita itu aku jadi tahu, dulunya keluarga Biru pernah ngontrak rumah di samping keluarga Mera. Tak ada yang lain lagi informasi yang kudengar. Hanya itu.

Sebelum mereka pamit, aku izin pulang lebih dulu. Aku sudah tak tahan melihat Mera dan si Biru pujaanku. Sepanjang tadi, mereka asyik berdua. Aku jijik. Ah, entahlah!

Seminggu pun berlalu. Selama itu aku dan Mera tidak lagi duduk bersama. Kami hanya saling sapa jika bertemu di lobi saat jam pulang kerja. Dia selalu diantar jemput si Biru. Aduh, hatiku merana. Pertama kali jatuh cinta, langsung merasakan sakit di saat yang sama.

Hari demi hari aku dan Mera benar-benar tak saling berinteraksi lagi. Dua bulan pun berlalu, dia mendapat promosi jabatan. Dia dipindahtugaskan ke kantor cabang di kota lain. Saat keberangkatannya, aku turqut mengantar ke Bandara.

"Titip sahabatku, ya!" ucapnya kala itu sambil mengedipkan mata pada si Biru.
Sejak ucapan itu, aku dan Biru jadi dekat. Sebulan berlalu aku dilamar. Aku menerima tanpa bertanya tentang si Mera. Egoku ingin menguasai Biru. Yang penting aku yang dipilih, bukan Mera. Saat hari pernikahan pun Mera tak bisa datang.

Hari ini, enam bulan pernikahan kami. Selama itu aku tak pernah bertanya soal Mera. Tiba-tiba perempuan itu muncul di depan rumahku. Tanpa menyapaku, dia memeluk Biru. Satu kecupan disematkan suamiku di keningnya. Dasar tidak tahu malu. Kepalan tanganku mengencang. Dadaku bergemuruh. Panas membakar jiwa.

Dia masuk. Hanya tersenyum sekilas padaku, lalu kembali asyik berdua dengan Biru. Aku diabaikan. Daripada jadi orang bodoh di antar mereka, aku memutuskan masuk ke kamar. Kubenamkan wajah di bantal, terisak.
Beberapa saat kemudian, Biru masuk. Dia mengecup puncak kepalaku. Dadaku nyeri. Bahuku bergetar. Biru membalikkan tubuhku. Keningnya mengerut saat melihat wajah jelekku basah oleh airmata.

"Kamu kenapa, Sayang?"

"Apa hubunganmu dengan Mera?"

Biru tertawa terbahak-bahak. Aku ingin mencekiknya sampai kehabisan napas. Biar mati saja suami model ini. Bisa-bisanya dia memeluk dan mengecup perempuan lain di depan istrinya.

Setelah puas tertawa, dia menarik tanganku mengikutinya. Dia membawaku masuk ke kamar lain. Ada Mera yang berbaring sambil memainkan ponsel tanpa jilbab. Ya, ampun! Terkutuk benar perempuan ini.
Biru duduk di tepi ranjang. Mera menatap bingung padanya.

"Sayang, tolong jelaskan apa hubungan kita!" seru Biru pada Mera. "Ada yang cemburu, lho."

Mera tertawa pelan seraya bangun dari pembaringan. Ia duduk menghadap suamiku. Dia meminta Biru keluar. Lalu, ia menarik tanganku duduk di depannya.

"Aku mencintai suamimu." Mera tersenyum, menjeda kalimatnya. Dadaku bergemuruh. Tanganku gatal ingin menampar wajah perempuan cantik ini. "Sama seperti Biru yang juga mencintaiku."

Setetes bening jatuh membasahi pipiku. Mungkin aku memang bodoh, sudah tahu Mera mencintai Biru tapi berlagak tak peduli. Dia mengulurkan tangan, mengusap airmataku.

Dia menarik napas. "Sejak kecil aku dirawat mamanya. Aku dan Biru tumbuh bareng dengan air susu yang sama. Aku pikir kamu sudah tahu."

Seketika aku terdiam, merunduk malu. Bodoh! Kenapa aku tak berpikir sampai ke sana. Kenapa pula aku tak pernah bertanya dan hanya mengandalkan prasangka.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now