Diary Sang Pemuja

538 22 4
                                    

02 September 1965

'Matanya bagai sinar rembulan yang menyinari hidupku. Bibirnya yang seksi ingin kukecup. Khayalku bersandar di dada bidangnya. Namun, itu hanyalah selaksa khayal yang tak mungkin jadi nyata. Dia yang kucinta. Dia yang kupuja. Dia bagaikan bintang yang menerangi malamku. Aku tahu, bintang itu tinggi. Hanya bisa dipandangi dan dikagumi, tapi tak mampu tuk diraih.'

Diary Sang Pemuja halaman 15.

Diary yang diberikan seorang perempuan misterius padaku. Aku bertemu dengannya seminggu yang lalu di Museum Jenderal Nasution. Aku tidak mengerti, mengapa ia memberikan diary ini padaku. Aku ingin bertanya, tapi perempuan itu telah menghilang.

Kusantap muffin cokelat buatan Ibu sebelum melajutkan membaca. 

23 September 1965

'Senyumannya menggetarkan jiwaku. Meresap ke dalam sanubari dan mampu mendamaikan hati yang cemburu. Hari ini dia tersenyum padaku. Kemarin aku begitu cemburu melihat Pierre kegirangan. Katanya, dia baru menerima surat cinta dari kekasihnya di Medan. Tapi tadi, dia tersenyum begitu manis padaku. Dan aku bahagia.'

Aku terkejut membaca nama Pierre.  Itu artinya, ini diary wanita yang memuja ajudan tampan itu. Aku semakin penasaran. 

30 September 1965

'Sakit. Sakit sekali. Rasanya seperti sejuta belati menghunjam jantungku, ketika mendengar kabar tentangnya. Kabar yang mampu mencabik-cabik ragaku. Dia akan menikah dengan Rukmini. Oh, sungguh tak rela, melihatnya berbahagia dengan gadis Jawa yang sekarang tinggal di Medan.'

01 Oktober 1965

'Aku terpuruk, terperosok dalam jurang nestapa. Kabar ini lebih menyakitkan daripada kabar pernikahannya. Kekasiku Pierre telah tiada. Ditembak mati oleh iblis berwujud manusia.'

16 Oktober 1965

'Hari-hari yang kujalani terasa menyedihkan. Tak ada lagi senyumannya, tak ada lagi tawa riangnya di halaman rumah bersama Ade Irma. Aku kehilangannya. Cintaku tak lagi kutemui, ia telah berkalang tanah. Hari-hariku hanyalah kesedihan.'

12 November 1965

'Kehilangan Pierre seperti kehilangan separuh nyawaku. Ragaku masih hidup, tapi jiwaku telah mati. Ikut terkubur bersama jasad pujaanku. Tak ada gunanya lagi raga yang menyedihkan ini. Duhai Sang Pencipta raga, cabutlah roh yang masih setia mendampingiku. Jika tidak, belati ini telah siap mengantar ragaku ke dalam pelukan Pierre.' 

Aku terperangah membaca halaman terakhir yang bersimpah darah. Sebegitu kuatkah rasa cinta wanita ini?  Ia teramat putus asa dan memilih bunuh diri. Betapa bodohnya pemilik diary ini. Bahkan Rukmini pun masih bisa berpikir waras. Karena hidup harus tetap dilanjutkan. 

Hari sudah larut, aku bersiap tidur. Aku meringkuk dalam selimut tebal yang menghangatkan tubuh. Tiba-tiba terdengar suara aneh.

'Kau bilang aku bodoh? Kau akan merasakan hal yang sama denganku!'

Aku terperanjat. Kusapu pandangan di setiap sudut kamar. Suara siapa itu? Ah, mungkin aku hanya berhalusinasi. 

                                                            **

"Dita! Bangun!" Ibu mengguncang tubuhku. "Udah siang. Tuh, di depan ada temanmu."

Aku menggeliat. Lalu, dengan wajah pucat, rambut berantakan, napas yang kurang sedap dan mata bengkak, kutemui teman yang datang. Siapakah dia? Semoga saja tidak menertawakan keadaanku.

"Hai!" 

Suara yang tidak asing. Kukucek mata dan melihat sosoknya. 

"Haris?!" Aku terbelalak. Di depanku berdiri sosok yang kurindukan. Sosok yang selama sembilan tahun bersemayam dalam hatiku. Sosok yang menggetarkan jantung, mengguncang relung-relung hatiku.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now