20. Positive Or Negative

2.1K 124 0
                                    

Dua porsi bubur ayam dan dua cangkir teh manis hangat sudah tersedia di meja makan. Pagi ini Ira memutuskan untuk membuat bubur ayam seperti yang selalu bundanya buat untuk keluarga mereka. Setelah berkutat dari ba'da shubuh, akhirnya bubur spesial buatannya jadi juga. Rafli keluar dari kamar dengan setelan kantornya yang rapi. Ira bisa mencium wangi parfum maskulin suaminya yang menguar. Entah kenapa ia merasa nyaman dan ingin terus menghirup wanginya. Rafli menatap penuh minat hidangan di depannya.

"Wah..., aku bisa tambah gemuk nih tiap hari disuguhin makanan enak terus. Gak kuat nahannya." ucapnya sambil menepuk-nepuk perutnya yang lebih membuncit dari bulan sebelumnya. Ira tertawa pelan.

"Kan biar sehat Mas makan makanan rumah. Asal kamu rajin olahraga untuk tetap menjaga keseimbangan dan kesehatan tubuh. Jangan banyak diamnya." Rafli mengangguk. Ia menarik kursinya diikuti oleh Ira. Bubur ayam tanpa bawang goreng sesuai seleranya sudah tersedia di depannya. Dari harumnya sudah begitu menggugah selera. Ia memimpin do'a untuk sarapan pagi mereka dan mulai menyantap makanan masing-masing.

"Masakanmu selalu enak. Jadi kangen masakan Ayah sama Bunda." Ira tersenyum melihat suaminya yang lahap memakan sarapan buatannya.

"Nanti lain kali kita ke sana buat minta nyicipin masakan mereka." Rafli tertawa pelan.

"Haha... Jadi kita ke sana cuma mau ngerampok makanan aja. Bisa dijitak aku sama orang rumah." Ira tertawa.

"Ya, gak gitu juga kali, Mas. Kalau kita berkunjung ke sana, udah pasti kita bakalan dijamu sama tuan rumah. Aku juga kangen sama Icha. Aku belum ketemu sama dia lagi setelah acara perpisahan minggu kemarin di sekolah." Rafli hanya berdehem. Ia asyik menikmati bubur ayam yang begitu pas di lidahnya itu. Masakan istrinya memang sudah menjadi favoritnya sejak ia merasakan masakan Ira untuk pertama kalinya.

Setelah selesai sarapan, Ira membereskan bekas makan mereka untuk dibawa ke dapur. Rafli mengambil tas kerjanya di kamar. Ira mengikuti suaminya sampai depan rumah. Saat di depan pintu rumah, mereka saling berhadapan sejenak. Seperti biasa Ira akan mencium tangan suaminya dan Rafli yang mencium kening istrinya.

"Aku berangkat dulu ya, sayang! Kamu hati-hati di rumah." Ira mengangguk.

"Iya, Mas. Hati-hati! Jangan ngebut di jalannya! Utamain keselamatan." Rafli tersenyum mendengar nasihat istri cantiknya. Ia mencubit pelan hidung mungil sang istri. Ira mencebik kesal.

"Iya, cintaku. Aku duluan, ya!" Ira mengangguk. Ia memandang suaminya yang berjalan menuju motor besarnya yang sudah terparkir di halaman. Tak lama motor mulai bergerak bersama sosok suaminya yang meninggalkan halaman rumah mereka menuju ke jalan raya.

***

Ira berjalan dengan cepat menuju kamarnya. Ia sudah tak bisa menunggu lama lagi. Dibukanya laci di meja rias dan mengambil sebuah benda pipih yang kebetulan masih tersedia stoknya. Diambilnya benda itu dan ia berjalan menuju kamar mandi dekat dapur. Setelah masuk ke sana, ia kencing terlebih dahulu dan menampung cairan urinnya di sebuah wadah kecil. Dibukanya kemasan itu dan dicelupkan ke dalam wadah yang berisi cairannya. Ia menunggu hasilnya dengan jantung berdebar. Sebenarnya sudah dari dua minggu yang lalu ia ingin mencoba alat itu, tapi ia masih telat dua hari. Ia takut hasilnya akan sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Semenjak pulang dari bulan madu itu 3 bulan yang lalu, ia selalu gemar mencoba alat ini untuk membuktikan bahwa di rahimnya telah tumbuh makhluk kecil yang sangat dinantikan oleh suaminya dan keluarganya. Namun ia harus menelan kekecewaan ketika hasil dari tes itu hanya menunjukkan garis satu. Dan ia belum siap jika harus kecewa lagi karena lagi-lagi ia dan suaminya belum dipercaya Tuhan untuk menjaga titipan-Nya. Setelah beberapa menit menunggu, ia mengangkat benda pipih itu. Ia memejamkan matanya sejenak, bersiap untuk melihat hasil yang ditunggu dan diharapkannya.

Guardian AngelWhere stories live. Discover now