Chapter 3 - Rere

22 6 1
                                    


Indonesia, Februari 2018

Shinobi Coffee


Sudah seminggu lebih sejak perkenalanku dengan Profesor Frik. Dan sejak saat itu, dia selalu datang ke kedai kami. Waktunya pun hampir selalu sama, dia datang sekitar jam sembilan atau jam sepuluh malam, dan selalu duduk di depan meja bar. Pesanannya juga sama, secangkir Espresso dan Single Origin kopi.

Sebenarnya aku sedikit risih padanya yang selalu memperhatikanku diam-diam. Saat aku sedang menyeduh maupun sedang mengobrol dengan teman-temanku. Dia hanya duduk diam dan sesekali menyinggung senyum, senyum yang mengerikan. Aku sampai bergidik ngeri jika melihat dia sedang tersenyum kearahku.

Dan aku selalu kesal saat dia datang. Kenapa? Bukan kesal dengan kedatanganya, tapi kesal dengan teman-temanku yang selalu menggodaku. Mereka mengatakan 'Alvi, fans lu dateng tuh' dan 'Al, pasangan lu mau ngopi tuh, layani dia dengan baik yah'. Menyebalkan. Bahkan suatu waktu Nadila yang selalu diam pun ikut menggodaku, 'Kak Alvi, pacarnya minta Gayo Wine V60.' Oh ayolah, kalian temanku bukan sih?

Seperti saat ini. Bar sepi, hanya aku dan Pria itu. Yap, siapa lagi kalau bukan pria tua misterius bernama Profesor Frik. Entah kenapa teman-temanku tak menunjukan batang hidungnya kali ini. Tak seorangpun. Nadila? Ck, dia hanya diam membaca novel fantasi kesukaannya bila sedang tak ada pesanan.

Suasana benar-benar canggung kali ini. Aku yang enggan untuk memulai obrolan dengannya, dan tak ingin terlibat lebih dalam dengannya. Sedangkan dia hanya diam dan menikmati kopinya. Di tengah kecanggungan kami, dia mulai membuka suara "tumben sepi."

Aku yang kaget dengan suara itu, menoleh padanya dan menunjukan wajah cengo-ku. Selama sekitar lima detik, waktu terasa berhenti dan kami saling bertatap. Kemudian aku tersadar dari keterkejutanku, "Ngg ... kurang tau Pak. Sepertinya mereka sibuk."

"Jangan panggil 'Pak', terlalu tua bagiku. Umurku baru 42 tahun. Panggil Om aja."

What? Om? Wah-wah beneran penganut 'Pelangi' nih orang.

"Ngg .. iya Pak, eh Om."

Dia kembali memberikan senyuman mengerikannya. Dan disampingku, Nadila, dia sedang cekikikan tanpa mengalihkan pandangannya dari buku tebal di hadapannya. Aku tau kau menertawakanku, tertawalah sepuasmu Nadila.

"Alvi, sudah berapa lama mulai menyeduh kopi?" begitulah pertanyaannya.

"Ngg .. sekitar tiga tahun Om." Ck, kenapa harus 'Om' sih? Gak ada sebutan lain apa?

"Wah, sudah lama juga ternyata."

Aku hanya memasang cengiran yang menurutku cengiran polos. Tak tau kalau menurut orang lain.

"jadi, Bagaimana?" tanyanya kembali.

Bagaimana apanya?

Saat wajahku masih terlihat menerka-nerka maksud dari pertanyaannya, dia meralat kembali maksud dari pertanyaan tersebut. "Bagaimana rasanya jadi penyeduh dan berkecimpung di dunia kopi, maksudku."

Aku hanya bisa ber-oh ria. "Ya, cukup mengasyikan Om. Kopi itu misterinya terlalu banyak, jadi ya gak habis-habis. Semakin diperdalam semakin seru."

Kami masih terus mengobrol, menikmati malam yang sepi ini. Pengunjung pun sepi jadi aku bisa sedikit bersantai. Kami membahas berbagai macam hal, mulai dari obrolan seputar kopi, informasi berita terkini, pengalamannya sendiri, keluarganya, sampai membahas makhluk micin yang bertebaran dimana-mana.

Diluar dugaan ternyata Profesor Frik ini orangnya mengasyikan. Pengetahuannya luas, dan rasanya obrolannya tak pernah habis. Persis seperti Toni. Orangnya juga ramah dan masih bisa diajak bercanda ala anak zaman sekarang. Hingga waktu yang harus memisahkan kebersamaan kami.

Kedai kopi ini sebentar lagi tutup. Kini aku dan Nadila sedang membereskan dan membersihkan beberapa alat seduh yang kami pakai tadi. Agar besok tidak terlalu repot. Tiba-tiba, Nadila Membuka suaranya.

"Cie, Kak Alvi. Sekarang akur sama pacarnya."

What? Ow, okey ini sudah tak bisa dimaafkan lagi. Aku sedang tidak mood untuk bercanda Nadila. Jadi aku mendiamkannya saja. Dia malah cekikikan gak jelas. Awas kau, Tunggu Pembalasanku.

Shinobi Coffee sudah tutup, dan kini aku sedang berada di parkiran bersama teman-teman seperjuanganku. Ngapain? Ya pulang lah. Masa mau nginep. 

Tiba-tiba dua orang temanku menghampiriku yang sedang duduk manis diatas kuda besi kesayanganku ini.

"Alviii .. " suara cempreng ini, sudah sangat kukenali.

"Kenapa?" jawabku singkat.

"Anterin Rere pulang yah," kulihat Rosi yang sedang menarik Rere menghampiriku. Disana terlihat Rere yang misuh-misuh tak jelas pada temannya itu dengan wajah cemberut.

"Emang kakak kamu kemana Re?" tanyaku.

"Gak tau tuh. Gak Bisa jemput katanya. Nyebelin," Rere menggerutu sambil mengerucutkan bibirnya. Menggemaskan sekali, jadi ingin membawaya pulang.

"Ya udah deh, Yuk!" begitulah keputusanku. Gak tega juga sih ngebiarin cewek manis nunggu sendirian. Apalagi ini udah malem.

"Eh, Tapi," Rere sedikit menolak.

"Udah gakpapa. Alvi gak bakalan gigit kok. Iya kan Alvi?" Rosi masih membujuk Rere. Padahal emang gak bakalan gigit juga sih.

"Gigit? Nggak lah. Mending gigit roti, bikin kenyang," jawabku santai.

Akhirnya dengan sedikit paksaan Rere akhirnya mau pulang bersamaku. Mukanya sedikit terpaksa, aku heran kenapa Rere sebegitu gak maunya pulang denganku. Apakah aku bau? Kurasa tidak. Masih wangi kok. Parfum mahal nih. Atau aku pernah jahat padanya? Tak pernah, sekalipun. Ck ah, sudahlah.

Satu persatu temanku kembali kerumahnya. Mengistirahatkan badannya yang telah lelah seharian. Dan kini aku sedang bersama Rere membelah jalanan malam. Sepi, seperti biasa.

Tak ada obrolan diantara kami. Selalu seperti ini saat aku sedang berdua dengannya. Padahal jika sedang bersama dengan yang lain, Rere aktif, bahkan sering melontarkan candaan recehnya. Tapi, saat berdua denganku, selalu diam seribu bahasa. Aku tak mengerti.

Aku yang tak tahan jika harus selalu diam mau tak mau harus mengeluarkan sisi kejantaanku. "Re?" panggilku.

"Iya?"

"Oh masih ada. Kirain jatuh."

"Ck, apaan sih."

"Ya, kan dikira gak ada. Kirain jatuh. Abis diem mulu dari tadi. Sakit gigi? Apa sakit hati?"

"Udah sana nyetir yang bener."

Galak banget. Lagi PMS kali. Ah sudahlah.

Aku terus melajukan motorku di tengah keheningan malam. Hingga tak terasa tiba di depan rumahnya Rere. Dia pun turun dari motorku.

"Al, Makasih yah."

"Yup, sama-sama Re."

"Ngg .. mau masuk dulu?"

"Yang bener aja Re, udah malem nih. Hampir jam satu."

"Ya, kan kali aja. Cuma nawarin."

"Hihi, oke deh. Met istirahat yah, aku pulang dulu."

"Mmmm .. hati-hati. Kalo udah nyampe rumah kabarin yah."

"Oke. Bye."

Aku memutar haluan, dan mulai berkendara menjauhi rumah Rere.

Sepi amat nih. Gas aja deh, serem juga jalanannya. Sampai besok.



*=*

TBC

Pendek dulu yah ... masih buntu ide ... hehe 

Caffeine Knight ALPA Ft. Profesor FrikHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin