5. Benaluku Sudah Pergi

11 2 0
                                    

special tag to wpdorm

(1047 words)

"Sampai akhir pun, kau selalu membuatku terkejut."—Felix Pearson. 

.

.

.



"ORLIN HARPER!"

Pintu menjebelak terbuka. Tatap kaget serta umpatan memberondongiku. Tapi aku mengabaikannya. Lekas-lekas berlari menuju ranjang tempat Orlin terbaring. Namun, aku tidak mendapati apa-apa selain selimut dan bantal yang tertata rapi.

Kakiku membawaku pergi mengelilingi rumah sakit. Sambil sesekali meneriaki namanya dan dihadiahi tinju dari petugas keamanan.

Aku berlari menuju toko. Berteriak memanggilnya seperti orang gila. Namun, yang kudapati hanya Paman Kim yang berkali-kali memintaku tenang dan mengatakan Orlin tidak datang ke toko.

Aku berlari ke rumah. Meneriaki namanya lagi namun yang kudapati hanyalah keheningan. Aku jatuh bersimpuh. Tubuhku lemas. Rasanya seperti dihempas keras-keras saat aku baru saja mendapatkan mimpiku kembali.

"Nona itu sudah pergi dan tagihannya sudah dibayar lunas. Tapi dia menitipkan ini padamu."

Kupandangi sebuah kotak merah tua dengan pita hitam menghiasinya. Orlin Harper bodoh! Apa yang dipikirkannya itu? Tiba-tiba menghilang tanpa mengatakan apapun? Sudah membayar lunas biaya Rumah Sakit? Cih, apa dia sudah gila? Dapat dari mana uang sebanyak itu? Lalu kenapa dia memberiku kotak ini? Apa semacam hadiah perpisahan?

Perpisahan? Apa Orlin Harper sudah gila?

Setelah membuatku kalang kabut, luntang-lantung di jalan, dan merasa gila karena harus kembali bermain piano demi mendapatkan uang seratus ribu dollar untuk melunasi tagihan rumah sakit, ia malah tiba-tiba malah menghilang? Apa Orlin sungguh sudah gila? Aku baru sadar jika ia bahkan tidak punya ponsel atau apapun yang bisa kuhubungi.

Ke mana lagi aku harus mencarinya?

Bodoh, Lee Felix bodoh.

Merutuki diri, kupungut kotak merah yang semula tergeletak di lantai. Membukanya dan mendapati sebuah kaset dengan secarik surat yang terselip. Cih, apa-apaan ini?

"Dasar Harper bodoh!"

Sambil mengumpat aku memutar kaset tersebut. Mengambil posisi duduk di sofa sambil membuka suratnya.

Untuk Tuan Pearson yang kepalanya sekeras batu.

Aku mengerutkan kening. Kata sapaan macam apa ini? Dia cari ribut ya? Awas saja kalau aku bertemu lagi dengannya. Pasti akan kubuat babak belur!

Bagaimana kabarmu?

Ah, belakangan kamu memang tampak lebih baik, sih. Jadi, aku tidak perlu mencemaskanmu, 'kan?

Awalnya aku kesal, kamu sangat tidak peduli dengan kesehatanmu. Makan sembarangan, bekerja terlalu keras, tidur larut malam. Apa sih yang kamu pikirkan sampai bertingkah seperti itu? Merasa hebat karena bertingkah seperti orang sibuk? Cih, rasanya aku ingin memukul kepalamu dengan stik drum! Memang aku harus menghajarmu sampai seperti apa sampai kau mau mendengarkanku?

Alisku nyaris menyatu. Orang ini kenapa tiba-tiba berubah jadi orang yang tak kukenal? Apa jangan-jangan ini bukan dari Orlin? Gaya bahasanya ... dan tulisan tangannya ....

Mostro: Mimpi yang Terlupakan (SELESAI)Where stories live. Discover now