3. Kenangan yang Datang Tiba-Tiba

15 2 1
                                    


special tag to wpdorm

(551 words)

"Kau mengingatkanku pada hal sama sekali tidak ingin kuingat."—Felix Pearson. 

.

.

.

"Selamat datang."

Aku tertegun.

"Felix, tolong bantu aku memilih ya?"

Masih tak bergerak. Aku memandangi sekeliling dengan tatapan menerawang hingga tidak sadar jika Orlin sudah melepaskan tautan tangan kami.

"Felix, apa kau mau mencobanya?"

"Tidak Ayah. Pasti sulit sekali bermain piano."

"Hei, sejak kapan Felix ayah jadi seperti ini? Mana semangatmu yang membara itu?"

"Ayah, tapi memang benar-benar sulit. Aku sudah mencoba bermain tapi tetap saja terdengar aneh."

"Kalau mencoba sekali tidak bisa, lakukan dua kali. Kalau dua kali masih tidak bisa, lakukan lima kali. Kalau lima kali masih tidak bisa, lakukan sepuluh kali. Bahkan jika jari-jarimu tidak bisa digerakan lagi, cobalah untuk yang keseratus kalinya. Jadi kau tidak akan menyesal nanti."

"...."

"Kau pasti bisa. Ayah akan mengajarimu."

Kepingan ingatan melintas dalam benakku saat kupandangi sebuah alat musik berdawai baja yang terletak di sudut toko. Kedua tungkaiku terayun mendekatinya. Mencoba menyentuh barisan tuts. Saat mengalihkan pandang, kudapati alat musik berdawai lainnya. Satu yang terbuat dari kayu dan berleher panjang.

"Kak, bisa mainkan satu lagu lagi untukku?"

"Apa?! Lagi?! Hei! Aku sudah mainkan sepuluh lagu untukmu! Apa semua itu belum cukup?!"

"Tapi permainan kakak memang sungguh keren!"

"Huft ... kalau begitu ya kamu belajar main sendiri saja sana. Kakak tidak mungkin selamanya bermain gitar untukmu kan?"

"Ngg ... bolehkah?"

"Tentu saja! Sini biar kakak ajari! Tapi setelah ini kau harus gantikan Kakak mencuci piring ya?"

"Kakak!"

Lagi dan lagi. Berbagai kenangan memaksa masuk ke dalam setiap celah kepalaku yang mulai disergap pening. Aku memejamkan mata saat untaian nada klasik terdengar dari speaker yang terpasang di pojok toko.

Piano Quartet no 3. Satu yang sering dimainkan Ibu.

Sial! Kenapa berdiam lama di toko ini malah membuatku banyak bernostalgia? Aku harus segera keluar dari sini!

"Aku sudah selesai. Ayo kita pulang, Felix!"

Sekonyong-konyong Orlin menghampiriku. Kulihat sebuah gitar di pelukannya dan aku merasa seperti di tampar keras-keras.

***

Toko tiba-tiba ditutup karena penghangat ruangan yang rusak.

Aku tidak tahu ini anugerah atau malah bencana. Yang pasti, aku tidak bisa menikmati masa libur satu hari yang langka kudapat ini karena seorang gadis tak waras yang tengah duduk di depan perapian dengan gitarnya.

Aku menghela napas. Sudah tiga jam ia di sana, mencoba memetik dawai dan membuat telingaku menderita. Rasa-rasanya aku ingin melemparnya dengan buku. Aku bahkan tidak juga mengerti satu kalimat pun yang kubaca. Dia benar-benar membuatku gila!

Jadi, sebagai upaya untuk membuatnya bungkam, kuhampiri Orlin dengan tatapan membunuh yang mengerikan. Berusaha membuatnya mengerti seberapa besar aku menderita karenanya. Tapi Orlin malah memasang wajah polos. Seakan aktivitas mengerikan selama tiga jamnya tidak mengganggu siapa pun di sini.

"Kau sedang apa?" Sarat akan amarah, aku mencoba menciutkan nyalinya. Tapi Orlin masih saja tersenyum. Oh, nyalinya sungguh besar.

"Belajar bermain gitar. Aku harus bisa main gitar bulan depan. Aku lihat ada lomba di balai kota. Lombanya sangat menarik. Hadiahnya juga besar, hehe. Aku benar-benar ingin ikut lomba ini!"

Rahangku rasanya jatuh menumbuk di lantai. Bulan depan ingin ikut lomba? Dengan kemampuan sepayah ini? Apa yang dia pikirkan?

"Hei, Orlin Harper! Aku saja butuh delapan bulan untuk bisa menguasainya. Lalu kau dengan kemampuan payah begini ingin ikut lomba? Kau bahkan tidak bisa memegangnya dengan benar!"

Orlin memberengut, "Ya, mungkin saja aku berbakat. Aku bisa belajar keras sebulan penuh lalu dapat banyak uang, hoho. Bukankah itu akan jadi sangat menakjubkan?"

Kupijat pelipis yang mendadak berdenyut kencang. Gadis ini mamang benar-benar spesies langka.

"Aku akan main lagi!" Orlin baru saja hendak memetik dawai saat kutahan tangannya. Ia langsung memandangku heran.

"Aku akan mengajarimu. Jadi berhenti main asal-asalan dan membuat gendang telingaku pecah."

-To be Continued-

Mostro: Mimpi yang Terlupakan (SELESAI)Where stories live. Discover now