4. Kembali ke Masa Lalu

4 2 0
                                    


special tag to wpdorm

(683 words)

"Kenapa aku jadi begini?"—Felix Pearson. 

.

.

.

Orlin berlatih dengan keras. Ia jadi tidak banyak bicara dan memilih menghabiskan waktu senggangnya bersama si gitar kesayangan yang ia beri nama Panini.

Aku baru tahu kalau dia orang yang pekerja keras. Bukan hanya gadis cerewet keras kepala yang tak tahu malu. Melihatnya terus berlatih dan berlatih membuatku tersenyum. Ya, agaknya keinginannya untuk membawa pulang hadiah bukan hal yang mustahil juga. Walau masih amatiran, Orlin bisa mainkan satu lagu yang kubuat saat kecil.

Lagu yang kubuat saat kecil. Oh, kenangan lama muncul kembali.

"Orlin, aku akan ke seberang membeli makanan. Jaga toko baik-baik ya."

Orlin menoleh. Mengangguk dengan senyum tipis sebelum kembali fokus pada latihannya. Lombanya dilaksanakan lusa. Dia pasti sangat gugup.

Aku tersenyum kecil. Meraih mantel yang tergantung di dekat pintu kemudian beranjak keluar. Kulihat toko roti di seberang, berderet bersama stan makanan. Uh, godaan di tanggal tua. Kenpa begitu banyak makanan menggoda di sana?

Perutku sudah meraung-raung minta diisi. Karena lapar, otakku jadi tidak berjalan dengan baik. Melihat kanan dan kiri, mendapati jalanan agak senggang, aku langsung saja menyeberang. Mengabaikan lampu merah untuk para penyebrang. Tak menyadari sebuah truk besar yang melesat cepat ke arahku.

Aku mendengar teriakan. Otakku bekerja lambat sekali dalam memproses segala hal yang terjadi. Tahu-tahu aku sudah terdorong ke seberang. Saat berbalik, kudapati Orlin terbaring di jalanan. Dengan genangan darah di sekujur tubuhnya.

"ORLIN!"

***

"Tolong segera lunasi administrasinya atau kami terpaksa mengembalikannya."

Menghela napas berat, kakiku membawaku pergi meninggalkan rumah sakit. Berharap udara malam memberiku secuil saja ketenangan.

"100 ribu dollar."

Tapi bayang-bayang Orlin yang terbujur kaku di ranjang Rumah Sakit membuatku kesulitan untuk sekadar menarik napas. Dasar gadis bodoh! Apa juga yang ia pikirkan?! Kenapa malah menolongku?! Kenapa dia malah membuat dirinya sendiri terluka?! Apa dia benar-benar tidak waras?!

Aku tidak peduli pada Orlin. Masa bodoh dengan apa yang akan ia lakukan pun dengan apa yang akan terjadi padanya selama itu karena tindakannnya sendiri. Aku lebih senang melihatnya terpeleset kemudian ditertawakan seluruh negeri. Aku lebih suka melihatnya tersenyum lebar seperti orang bodoh meski semua orang tengah berkoar-koar tentang betapa gilanya gadis itu.

Aku lebih suka melihatnya menderita seperti itu daripada harus terbaring lemah karenaku.

Aku berusaha tidak peduli. Tapi tetap saja tidak bisa. Bagaimana pun juga, Orlin jadi begini karena ingin menolongku. Salahkan dia yang mau saja jadi pahlawan kesiangan yang mengorbankan dirinya sendiri. Seperti orang bodoh. Dan orang bodoh itu membuatku tidak bisa lepas dari rasa bersalah.

Sekarang aku harus pergi ke mana untuk dapat seratus juta won? Meminjam uang ke para lintah darat? Memang mereka mau memberiku uang sebanyak itu secara cuma-cuma? Paman Kim juga mana bisa memberiku uang sebanyak itu. Lalu aku harus bagaimana? Menjual ginjalku, begitu? Ah, jalan pikir bodoh.

Baru saja akan menendang kaleng di jalanan saat kulihat selembaran yang tertempel di dinding salah satu toko. Alisku naik. Segera saja kuhampiri dan kubaca deretan huruf yang tercetak di sana.

Oh, sepertinya aku mendapat resolusi yang paling tepat.

***

Aku lupa bagaimana rasanya berdiri di tengah megahnya panggung. Memerkenalkan diri sebagai Felix Pearson, yang akan menghibur para penonton dengan lagu yang kubuat sendiri.

Aku lupa bagaimana rasanya mendapat tepuk tangan riuh saat aku baru saja mengambil posisi duduk di balik piano.

Aku lupa bagaimana kencangnya debaran jantungku dan bagaimana tremor menguasai tubuhku saat untaian nada terdengar mengambil alih riuh tepuk tangan.

Aku lupa semua itu.

Namun karena seorang Orlin Harper, hal-hal yang kulupakan tersebut satu-persatu berhasil kuingat dengan baik. Kupejamkan mata erat-erat tatkala untaian nada mengalun karena permainan jemariku di atas deretan tuts piano.

"Ayah dan Ibu meninggal karena kecelakaan saat sedang dalam perjalanan menuju konsermu. Bodohnya, kau bahkan melakukan banyak kesalahan dalam konser sialan yang kau bangga-banggakan itu."

Setetes air lolos dari kelopak mata. Rasa sesak itu kembali bergumul di dada.

"Dasar pembunuh! Kalau kau tidak memaksa mereka menonton konser sampahmu dan menyuruh mereka segera pulang dari Prancis, mereka pasti tidak akan meninggal!"

Tubuhku berguncang. Potongan memori mendesaki ingatanku.

"Tidak. Ini bukan hal yang benar. Kita harus mengakhirinya, Felix."

Aku menghentikan permainanku. Membuka mata dan melihat tatap heran para penonton. Aku tidak bisa lagi bermain. Dadaku terlalu sesak untuk sekedar menarik napas. Cairan bening itu membuatku kesulitan melihat.

Aku tidak bisa melakukannya.

Tapi tiba-tiba sosok Orlin menyerangku dengan segala perangainya. Senyum lebarnya, suara nyaringnya, tawanya. Semua berputar layaknya roll film yang rusak.

Aku mengepalkan kedua tangan.

"Maaf, aku akan mengulanginya sekali lagi."

-To be Continued-

Mostro: Mimpi yang Terlupakan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang