2. Rasa Malu yang Tak Tertolong

18 2 2
                                    

special tag wpdorm

(1153 words)

"Kalau boleh, rasanya aku ingin menenggelamkan diri di segitiga bermuda."—Felix Pearson. 

.

.

.

Aku ... ingin menjadi seorang komposer hebat.

Itu adalah mimpiku sejak kecil. Melihat Ayah yang sering kali diundang dalam acara besar, memainkan jemarinya di atas tuts piano dan diiringi suara lembut ibu membuatku lupa cara berkedip. Kakak perempuanku juga pemain gitar yang handal. Sering kali ia keluar sebagai juara satu dalam lomba yang diikutinya.

Mereka—keluargaku—adalah orang-orang hebat. Dan aku yang hanyalah bocah ingusan yang polos tidak bisa menyangkal bahwa aku juga ingin menjadi seperti mereka. Sialnya, mimpiku sendiri itulah yang membawaku pada lubang hitam bernama kesengsaraan. Bersama berbagai harapan yang semakin mekar setiap harinya, rasanya menyakitkan saat harus jatuh terhempas dan terjebak dalam realita yang memilukan.

Aku tahu aku aku tidak berbakat. Aku tahu aku payah. Namun, bocah ingusan bodoh yang hanya memikirkan dirinya sendiri itu pada akhirnya malah membuat keputusan fatal yang membuat kedua orangtuaku pergi jauh.

Sejak saat itu, aku tenggelamkan dalam-dalam mimpiku. Mencoba menjalani hidup yang baru. Awalnya kupikir aku tidak akan membutuh apapun selain makan cukup setiap hari, tempat tinggal, dan gaji yang lumayan. Namun, semua paradigmaku melebur begitu sosok Orlin datang. Gadis itu berhasil menggali kembali mimpiku yang mati-matian kukubur dengan cara yang paling menyakitkan.

***

"Hai, Felix!"

Itu Orlin yang baru saja tiba. Lejitan bersemangat di bibirnya tak juga hilang. Kedua bola matanya masih memancarkan kehangatan. Melihatnya, membuat alisku nyaris menyatu. Padahal baru beberapa jam yang lalu kata-kata kotor meluncur begitu saja dari mulutku, tapi nampaknya hal itu tak juga bisa membuatnya sedih.

"Hei, kau melamun? Apa aku terlihat lebih cantik hari ini?" Satu tawa pecah. Membuatku menghela napas dan kembali fokus dengan aktivitasku mengecek alat tulis di dalam etalase toko.

Bel berdentang. Menandakan pelanggan pertama di hari ini telah datang. Orlin segera menyapa dengan riang. Kulirik sekilas dia adalah seorang gadis berusia sekitar belasan tahun dengan balutan busana kasual.

"Aku mau cat minyak dan kanvas." Nadanya dingin. Lengkap dengan sorot mengintimidasi. Entah kenapa rasanya aku ingin tertawa. Sial sekali Orlin harus banyak berurusan dengan orang seperti itu.

"Oh, baiklah! Kau mau melukis, ya? Atau kau suka melukis? Wah, aku pernah coba melukis beberapa kali, tapi aku malah menumpahkan nyaris seluruh catnya ke kanvas. Jadi guru seniku selalu mengomeliku."

Seperti biasa, sifat Orlin yang banyak bicara ini adalah poin tambahan untuk membuat orang kesal. Oh, sepertinya aku harus memeringatinya setelah ini agar para pelanggan bisa terlepas dari jerat "pegawai banyak bicara" seperti dirinya.

"Semuanya jadi tujuh ribu won."

Sepengetahuanku, lantai tidak basah. Bahkan Orlin saja bertelanjang kaki. Tapi gadis itu bisa saja terpeleset sampai barang bawaannya beterbangan ke mana-mana. Membuatnya berceceran lantai.

Aku menganga melihat posisi tidak elit Orlin saat ini; tubuh terlentang dan kedua kaki yang terangkat membentuk sudut nyaris siku-siku. Aku tidak tahu apa mungkin posisi seperti itu bisa mengurangi eksistensi sakit dan malu yang bahkan aku sendiri sebagai pengamat bisa rasakan.

Mostro: Mimpi yang Terlupakan (SELESAI)Where stories live. Discover now