Bab 6 - Islam Bukan Teroris

Start from the beginning
                                    

"Kamu menyamakan aku dengan dia? Ya jelas beda. Aku mencintai perempuan yang aku sebut sebagai kekasih. Itu tidak salah, karena aku mencintainya."

"Itu bukan cinta, melainkan nafsu. Tuan berani menyentuhnya padahal Tuan tau, dia belum halal untuk dinikmati."

"Kamu tidak usah so tahu."

"Baiklah. Sudah saya katakan, Tuan tak akan mengerti." Setelah membersihkan semuanya, Aiza mulai meninggalkan ruang tivi untuk beristirahat sejenak di dapur. Berdebat dengan Mario tidak akan ada ujungnya.

"Lalu kenapa Islam selalu melakukan pemboman di mana-mana?" Mario melontarkan satu pertanyaan yang selama ini mengganjal pikiran, lagi-lagi Aiza harus mau menjelaskan, meskipun tak akan rinci. Membuat Mario diam adalah opsi terbaik.

"Sekarang saya kasih pertanyaan. Tuan tahu pembantaian tentara Israel di Palestina? Mereka melakukan pemboman di daerah Gaza, melenyapkan banyak nyawa. Lalu, apakah pernah mereka disebut teroris? Nyatanya sampai sekarang, ketika rakyat Israel melakukan aksi penembakan dan pemboman Islam di Palestina, mereka tidak pernah sekalipun dituduh sebagai Yahudi Teroris. Orang Budha yang membunuh orang islam Rohingya di Myanmar, apakah mereka pernah dituduh Budha Teroris? Islam dibantai di Kashmir oleh orang-orang agama lain, pernah juga kah dituduh sebagai Hindu Teroris? Lalu kenapa hanya Islam yang dituduh Teroris?" Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya Aiza melanjutkan. "Karena Islam agama mulia, Islam tinggi, agung, dan terhormat." Kata Islam sengaja Aiza tekankan. Di zaman sekarang, Islam sedang dipandang buruk dan sebelah mata. Bahkan orang-orang Islam sekalipun, lebih takut anak-anaknya mengikuti pengajian ketimbang main keroke di club. Mereka takut anak-anak mereka bergabung dalam pasukan isis, teroris, dan lain sebagainya.

Mario kelihatan sedang berpikir keras. "Jadi menurut kamu, itu semua fitnah?"

"Benar. Semoga Tuan paham dengan apa yang saya ucapkan."

Aiza kembali melenggang, meninggalkan Mario yang masih menatap tayangan berita siang, tapi dengan pikiran melanglang.

🍁🍁🍁

Sesampainya di dapur, Aiza menghampiri ponselnya yang tergeletak di atas meja, kebetulan ada panggilan masuk whatsapp berupa panggilan video. Aiza sedikit menyungging senyum.

Nama Indriku tertera di sana.

Aiza lekas menerima panggilan tersebut, lalu tak lama kemudian wajah big close up Indri terpampang di layar.

"Assalamu'alaikum..." sapanya ceria seraya melambaikan tangan.

"Waalaikumussalam..." balas Aiza dengan binar mata bahagia. Dan Indri tahu, sahabat yang kini berada jauh itu sedang tersenyum, meski tertutup niqab.

"Aku kangen banget tau sama kamu, Lub. Kapan pulang, sih? Ni, a Rifki nanyain kamu terus. Kapan dia bisa dateng ke rumah kamu?"

Aiza terdiam sejenak, selalu itu yang ditanyakan Indri ketika melakukan video call. Membuat Aiza bingung, karena ibunya belum diperbolehkan pulang. Sekarang Aiza ingin fokus pada Hilya, dokter telah mendiagnosa ibunya kalau dia terkena kanker paru-paru.

Sewaktu pertama kali mendengar kata kanker, tubuh Aiza seperti kehilangan ruhnya. Yang ada dalam benak, kanker itu penyakit mematikan. Siapa pun yang menyidap penyakit tersebut, selalu berakhir kematian. Aiza tak sanggup menahan beban ini sendirian. Tapi ia harus kuat, ia tidak boleh menyerah, pandangan tentang kanker yang mematikan, tidak boleh membuat Aiza putus asa, ia harus tetap bekerja demi membiayai semua pengobatan sang ibu dan segala tetek bengeknya.

"Kok malah ngelamun?" tanya Indri diplomatis.

Aiza menggeleng. "Emm maaf, Ndri. Bilangin ke Rifki, aku dan ibuku belum bisa pulang. Mungkin masih lama."

Di Balik Niqab [TERBIT]Where stories live. Discover now