4. Aku si Anak Perempuan

34 3 1
                                    

Aku melihat ke luar jendela. Hujan bertambah deras dan udara bertambah dingin. Cuaca hujan seperti ini selalu mengingatkanku pada seseorang di masa kecilku. Tapi sekarang aku sudah lupa wajahnya. Aku juga tidak punya satu pun fotonya.

Sekarang masih siang hari, tetapi mendung di luar rumah menjadikan siang seperti malam hari. Gorden kamarku yang berwarna merah muda terus bergetar dan kilat-kilat terang terus terlihat dari luar kamar. Aku menaiki kasur, berniat untuk menutup pemandangan jendela dengan gorden.

Letak kamarku yang berada di loteng rumah membuat aku bisa leluasa melihat ke luar dengan diam-diam. Aku mengusap kaca jendela yang berembun menggunakan telapak tanganku. Aku menatap sebuah rumah yang ukurannya hampir sama dengan rumahku. Rumah itu terletak berhadap-hadapan dengan rumahku, jadi rumah itulah yang akan pertama kali aku lihat dari jendela kamarku.

Aku memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas diantara kegelapan hujan di luar sana. Lampu-lampu rumah sudah dinyalakan, begitupun dengan lampu-lampu jalan di sepanjang daerah rumahku. Aku memperhatikan sebuah mobil hitam yang berjalan lambat memasuki pekarangan rumah di depan. Tak lama kemudian, mobil itu berhenti. Lampu sorotnya mati dan seseorang yang menggunakan payung kelabu besar keluar dari mobil itu. Dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah. Aku terpaku dan baru menyibakkan gorden setelah rumah yang suram itu mulai terang karena lampu-lampunya dinyalakan.

Suara kedua teman di belakangku mengalihkan perhatianku. Kedua perempuan itu sedang bercanda gurau di depan meja riasku. Untunglah suara petir yang aku takuti hanya sesekali muncul. Itu pun terendam dengan suara kedua temanku yang terus-terusan mengobrol.

Salah satu dari mereka yang berambut keriting menyuruhku duduk di kursi di meja rias. Aku hanya mengangguk dan menurutinya. Temanku yang lain sibuk dengan komik dan camilan yang memenuhi kedua tangannya.

Tanpa aba-aba temanku yang berambut keriting itu menarik ikat rambut yang sedang kukenakan. Rambutku yang berwarna hitam jatuh ke bahuku dengan lembut. Rambut yang sekarang sudah sepanjang pinggul itu ditata dengan apik oleh temanku yang berambut keriting. Aku menopang daguku di depan cermin dengan malas, tidak berniat melakukan apapun semenjak melihat orang yang tadi memasuki rumah di depan.

Rasanya penantianku selama sebelas tahun ini sia-sia saja. Aku yang kini sudah punya banyak teman baru dari laki-laki sampai perempuan, dan telah disibukkan dengan banyak tugas dan hal-hal lain yang lebih penting dari sekedar menunggu sosok itu yang nyatanya tidak akan pernah kembali. Hilang sudah harapanku. Entah apa yang terjadi dengan keluarganya. Ibu bilang kalau hubungan keluarga mereka tidak terlalu baik. Tapi sampai sekarang pun aku tidak tahu masalahnya dengan pasti.

Orang yang tadi memasuki rumah di depan adalah ayah dari sosok yang selalu ku nantikan. Setiap kali mobil hitam itu datang, aku selalu mati penasaran karena menunggu seseorang selain pria itu keluar dari mobil. Tapi kenyataannya, pria itu tidak pernah membawa siapapun kecuali dirinya sendiri.

Aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar. Temanku yang berambut keriting menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengepang rambut panjangku. Matanya menatapku aneh. Aku tertawa pelan. Padahal hujan di luar sangat besar, tapi ternyata suara hembusan napasku barusan masih terdengar oleh temanku yang berambut keriting.

Setelah rambut panjangku selesai dikepang dan diberi pernak-pernik, aku menghampiri temanku yang terkantuk-kantuk membaca komik. Suasana kamarku yang hangat dan nyaman memang membawa kantuk datang lebih cepat. Aku melihat jam dinding di atas meja rias. Jarum pendeknya menunjuk angka tiga dan jarum panjangnya menunjuk angka dua belas. Niatku untuk menyuruh kedua temanku pulang sedikit tertahan karena hujan di luar masih sangat deras. Aku tidak tahu sampai jam berapa teman-temanku baru pulang dari rumahku. Jangan-jangan mereka akan menginap disini. Tapi itu bukan masalah, karena besok merupakan hari libur dan tugas-tugas kami sudah selesai. Akhir ujian kenaikan kelas memang terasa menyenangkan.

Love SyndromeWhere stories live. Discover now