2. Aku si Anak Baik

50 6 1
                                    

Beberapa hari ini aku jarang menangis. Kalau ditanya alasannya, aku bingung harus menjawab apa. Aku sendiri tidak tahu alasan aku jarang menangis. Satu hal yang aku tahu, seminggu ini setiap aku pulang sekolah ibu pasti kedatangan tamu. Siapa lagi kalau bukan seorang ibu yang membawa anak perempuan nakal itu. Anak perempuan yang selalu mengusikku setiap aku sedang berimajinasi dengan mainan-mainanku.

Hari ini ayah dan ibu menjemputku tepat waktu. Seperti biasa, ayah berpamitan kepada para guru di sekolah ku sedangkan ibu dan aku masuk ke mobil terlebih dahulu. Langit sedang bersedih hari ini. Karena langit bersedih, aku tidak ingin menangis hari ini. Mungkin langit akan menangis menggantikan tangisanku yang mungkin sudah bosan didengarkan oleh ayah dan ibu.

Aku duduk di bangku belakang mobil, terus menunduk menatap sepatuku. Tiba-tiba ibu mengajakku berbicara.

"Abin, beberapa hari lagi ulang tahunmu datang. Ibu dan ayah sudah menyiapkan undangan dan juga hadiah untukmu," ucapnya lembut. Aku masih terdiam, tidak tergerak untuk menatapnya.

Aku langsung membayangkan hadiah apa yang akan aku dapatkan. Sebenarnya, akhir-akhir ini aku ingin menambah koleksi mainanku. Apakah mungkin mainan terbaru yang belum aku punya akan diberi oleh ayah? Atau ibu? Atau mungkin tidak keduanya. Tapi aku berharap ha itu menjadi salah satu hadiah ulang tahunku. Dari siapapun tidak masalah.

Langit mulai bergemuruh. Mungkin dia lapar, pikirku. Atau dia sedang berusaha menahan tangisannya. Aku menatap kaca pengemudi. Aku melihat ayah terdiam dan matanya fokus melihat jalan. Mungkin dia sama sekali tidak mau membahas perayaan hari ulang tahunku. Apa mungkin dia sudah bosan melihat tingkah lakuku yang seperti anak nakal.

"Tahun ini Abin ulang tahun yang keenam. Kamu harus berusaha membagikan undangannya sendiri ke teman-temanmu, bisa kan?" tanya ibu. Aku mendongak, kemudian mengangguk ragu-ragu.

Sebenarnya aku tidak yakin apakah aku punya teman atau tidak. Di sekolah, kalaupun ada yang berusaha mendekatiku untuk menjadi temanku, pada akhirnya mereka dengan sendirinya akan menjauh. Aku yakin kebanyakan dari mereka takut denganku karena aku sering menangis hingga mengacaukan semuanya. Kalaupun tidak menangis, aku jarang diam dalam artian tenang. Aku sering menghancurkan benda atau menyakiti orang-orang di sekitarku. Aku menendang dan memukul. Rasanya menendang dan memukul sudah menjadi kegiatan sehari-hariku. Aku benar-benar nakal.

Rumahku yang berwarna abu-abu dan rindang mulai terlihat di depan. Tak lama kemudian, mobil menepi ke pekarangan rumah. Sampai saat ini pun ayah belum berbicara sepatah kata pun. Mungkin dia sedang banyak pikiran. Ibu bergegas menuntunku keluar mobil, mungkin khawatir hujan akan segera turun. Aku menatap langit. Warnanya bertambah hitam seperti warna lutung.

Aku berjalan sambil tertunduk. Ibu menggenggam tanganku hangat. Aku suka segala jenis perhatian ibu kepadaku. Tapi aku paling suka jika dia membelai rambut tebalku atau mendekapku dalam pelukannya. Tapi entahlah, aku merasa ibu semakin jarang memelukku. Dia hanya memeluk ketika aku menangis. Mungkin karena aku bertambah besar. Tapi mungkin kalau sudah dewasa nanti, aku tidak akan segan untuk memeluknya. Bahkan dari saat ini pun aku mau terus memeluknya.

Setelah melepas sepatu, aku langsung berlari ke dalam rumah. Aku melemparkan tas sekolahku yang terasa seperti beban itu ke sembarang arah, kemudian memburu kotak mainanku. Tapi sesaat kemudian aku beralih ke salah satu mainan robotku yang berwarna putih, yang sedang berdiri gagah di atas meja yang sulit ku jangkau. Ayah merakitnya untukku. Dia pun juga turut menyukai mainan robot rakitan tersebut.

Baru saja aku hendak menarik kursi, ibu datang membawakan baju ganti dan tentu saja makan siangku yang empat sehat lima sempurna. Di depan sana, terlihat mobil ayah mulai menjauhi rumah. Bahkan ayah tidak repot-repot menemuiku sebelum berangkat ke kantor.

Love SyndromeWhere stories live. Discover now