Prolog

7 3 0
                                        

Berlin, Agustus 2007

Matahari rupanya masih enggan menunjukkan diri dan memilih bersembunyi dibalik awan, pagi yang menyejukkan dengan embun yang masih menindih dedaunan. Suara detukan sepatu terdengar diseluruh penjuru jalan. Ya, hari yang bagus untuk memulai kerja. Cuaca cerah menyambut manusia pekerja keras hari ini, tapi terkadang cuaca cerah tak secerah seorang wanita yang duduk diatas bangku taman pinggir kota. Kemeja cream dan celana bahan bewarna coklat tua itu terlihat kusut sama kusutnya dengan pemilik wajah yang sedang menatap muram stiletto kesayangannya rusak didepan mata. Dramatis memang, hanya sepasang stiletto merah wanita itu bersungut-sungut dan menghentakkan kaki beberapa kali di atas rumput, ya dan kalian tidak tahu harga stiletto itu sama dengan setengah tahun gaji PNS di indonesia.

Sial!

Satu kata untuknya hari ini, matahari pagi memantul kearah kulit putihnya, percayalah padaku dia akan sangat cantik jika tersenyum! Alis tebal dengan sepasang mata besar ditemani hidung ramping nan tinggi dan bibir merah merekah dipoles gincu. Jas putih kebanggaannya dibiarkan tersampir disandaran kursi. Pupil cokelat itu menatap seorang anak laki-laki dengan pakaian lusuh berjalan tergopoh sambil memeluk beberapa tanaman bunga.

"Selamat pagi nyonya, harus kau tahu wajah mu sekarang persis seperti nasi basi yang di buang ibuku kemarin" Anak kecil itu tersenyum polos. Menaruh bunga-bunga yang dibawanya di atas rumput dan menepuk bajunya yang terkena tanah. Tanpa ia sadari anak itu telah mengukir awan hitam beserta petir diatas kepala cantik wanita itu.

"Ini, ambil lah" Anak kecil itu tersenyum manis sambil menyodorkan setangkai bunga matahari. Wajah kusutnya tidak berubah, tangannya menggapai bunga itu dan menatap lesu kearah bunga kuning yang bijinya sering dijadikan kuaci, yang kalau dimakan seratus pun tidak akan kenyang.

"Kurasa paman ku tidak akan marah jika aku memberikan setangkai bunga matahari dari toko bunganya" Anak itu kembali memeluk bunga yang besarnya melebihi badannya.

"Untuk apa kau memberiku bunga?" Akhirnya bibir itu mengeluarkan  suara, ia melihat seksama bunga di hadapannya. Jelas saja ia tidak menyukai bunga. Perutnya yang hanya diisi roti bakar gosong itu seketika berbunyi apakah ini bisa ku makan?.

"Kata paman ku seorang wanita menarik jika tersenyum, hari mu akan membaik jika kau memiliki senyum seindah bunga" Anak itu berlalu sambil melambaikan tangannya. Ia kembali menatap bunga matahari di tangannya. Ia mengambil buku dan menyelipkan bunga itu didalam buku agendanya.

Kurasa aku punya aksesoris baru untuk meja kerja ku

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 05, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Fragile Flower'sWhere stories live. Discover now