Secangkir kopi dan selarik puisi

3K 86 11
                                    

RAIB

Pagi ini aku terbangun dalam posisi yang cukup aneh.
Kedua tanganku terlentang, begitu pula dengan kedua kakiku. Kalau dilihat-lihat sebenarnya mirip dengan bintang laut yang Ali serang di pulau Hari Selasa. Hanya saja, aku tidak seganas bintang laut itu.

Tidurku tetap nyenyak walau dalam keadaan kacau, berkat matras berteknologi hebat ini yang mampu menyesuaikan bentuknya dengan badanku. Matras tersebut juga dapat dikontrol suhunya, mau itu dingin ataupun hangat. Aku tidak pernah melihat matras sejenis ini di toko furnitur. Ah, mungkin Ali yang menambahkan fitur-fitur canggih tersebut.

Setelah berhasil duduk walaupun masih ingin mengolet, aku menemukan Ali yang terdampar di atas sofa berwarna krem, dikelilingi robekan kertas kado.

Astaga! Ia benar-benar menyusuliku!

"Ali..?" aku mendekatinya dan mencoba membangunkannya. Karena tak cukup dengan memanggil, aku mengguncang-guncangkan badannya.

"Ali! Gempa! GEMPAA!!!"

"Hah!? Benarkah?" ia langsung bangun dan menengok ke kiri dan ke kanan, mengecek apakah kamarnya benar-benar diterjang bencana alam atau tidak.

Jelas tidak, Ali.

"Ah, kamu mengerjaiku!" bibirnya langsung membentuk huruf U terbalik.

"Makanya... kalau dibangunkan ya langsung bangun.." aku menarik lengannya sehingga ia berdiri.

Kami berdua jalan menuju ruang makan karena tadi salah satu pembantu Ali sudah memberitahu bahwa sarapan sudah siap disantap. Nasi goreng dan telur mata sapi dihidangkan bersama segelas jus jeruk dingin.

"Omong-omong.." aku masih penasaran mengapa ia benar-benar tertidur di sofa tersebut, dan tidak di ruang bereksperimennya.
Ataupun kamar lain yang bisa ia pilih sesukanya.

"...Kamu kemarin tidur jam berapa? Dan... kenapa kamu tidur di sofa?"

Ia tahu betul bahwa wajahku menunjukkan rasa khawatir padanya. Bukan karena ia adalah Ali, laki-laki yang baru saja menginjak usia tujuh belas tahun, tetapi karena dengan ia tidur di sofa tersebut, ia harus menahan rasa tidak nyaman semalaman. Worst case scenario-nya, bisa jadi tulang punggungnya dislokasi. Seorang Ali yang otaknya hanya berisi khayalan kehidupan di dunia paralel tidak akan terlalu banyak berpikir tentang keberadaan perempuan yang tengah menginap di rumahnya, 'kan?

"Tidak tahu." ia jawab singkat. "Aku sedang ingin tidur di sofa saja. Lagi pula, tidak mungkin aku tidur di kasurku. Kamu sudah tidur dengan pulas dan aku tidak ingin mengganggumu."

Jawabannya yang sangat datar dan apa adanya membuatku semakin penasaran padanya. Pasti ada sesuatu yang terjadi ketika aku sibuk menjelajahi dunia mimpi kemarin.

"Memangnya kamu sibuk mengerjakan apa sampai larut malam?"

"Loh?" Ali terkaget. "Bukankah Seli sudah memberitahumu?"

Memberitahu apa?

"Tidak. Seli tidak memberitahuku apa pun."

Sambil mengunyah nasi goreng buatan salah satu koki Tuan Muda Ali, aku mendengarkan penjelasan detailnya mengenai proyek menuju Komet minor. Sebenarnya aku tidak bisa fokus karena masih terpukul oleh fakta bahwa ternyata Seli tidak (atau lupa) memberitahuku mengenai kesibukan si Biang kerok. Ia tidak pernah seperti itu. Seli yang kukenal adalah Seli yang langsung menceritakan tentang Ali, Ali, dan Ali lagi. Sampai aku bosan mendengarnya.

Tiba-tiba pembicaraan kami terpotong oleh sapaan dari dua sosok yang berjalan menuju meja makan. Mereka terlihat sangat mirip dengan orang yang duduk di sebelahku.

RA - ALI - SELI [fanfiction serial Bumi]Where stories live. Discover now