*

*

"Dudududuuuuuu, yang akhirnya belah dureeeen!"

Flora memelototi tiga perempuan yang bersorak-sorak heboh menyambut kedatangannya di sebuah kafe siang ini. Untung saja tak ada pengunjung yang mengambil tempat duduk di sekitar meja mereka. Hanya seorang pelayan laki-laki—setengah mati menahan senyum—yang kebetulan lewat mengantarkan pesanan.

Mendapat sambutan heboh begitu, Flora tahu seharusnya tak memberitahukan perihal malam pertamanya dan Dicko di Pulau Moyo pada Cheryl. Sahabatnya itu mendesak agar memberitahukan perkembangan masalah rumah tangganya dan Dicko, sehingga mau tak mau dia akhirnya menjawab dengan jujur. Yang tak Flora pertimbangkan, perempuan itu akan menyebarkan kabar baik tersebut pada Rena dan Vivian secepat angin pantai berembus.

"Kurang kenceng teriakannya, Buibu. Sekalian aja umumin pake toa masjid di sebelah noh," gerutu Flora sambil mendudukkan diri di satu-satunya kursi yang kosong.

Cheryl, Vivian, dan Rena cengengesan. Wajah mereka berseri-seri berbalut rasa penasaran, menunggu cerita lengkap perjalanan bulan madu sahabat mereka itu.

"Kak Dicko romantis banget sih, bikin kejutan buat lo gitu." Rena memulai aksinya mengorek-ngorek cerita dari Flora. "Gue kira dia nggak bakalan beraksi sampai lo menopause, Flo."

"Rugi besar dong dia. Perawan ting-ting disia-siain," sahut Cheryl. "Eh, dia langsung nerkam lo apa gimana, Flo?"

"Nerkam, nerkam. Harimau kali." Flora memutar bola mata.

"Ya kali aja dia seganas harimau ketemu daging mentah, Flo. Cowok gitu, lho. Apalagi dia udah sebulan lebih nahan diri nggak ngejamah elo. Mas Alby aja nggak dapet jatah seminggu pas gue mens, langsung main nyosor waktu gue selesai. Dan dia lebih merana lagi waktu gue kelar ngelahirin. Seminggu pertama mukanya udah kusut aja kayak seprai nggak diganti setahun," Vivian ikut berkomentar, yang ditimpali kikikan dari Rena dan Cheryl.

"Laki gue juga. Makanya dia masih belum rela gue hamil lagi. Soalnya waktu kelar empat puluh hari ngelahirin Baby Gi, gue masih takut-takut gitu. Kayak anak perawan pertama kali ML, cyn. Jadinya otong laki gue nganggur deh sampe seratus hari."

"Ya ampuuuun, lo kejam amat, Cher!" Rena menepuk-nepuk meja sambil memegangi perut menahan tawa.

"Tapi Mas Alby malah suka kalau gue hamil," sambar Vivian. "Apalagi hamil muda. Beuh, hormon gue meledak-ledak kayak kuda lagi horny."

Tawa heboh lagi-lagi pecah di meja mereka. Flora menutup wajah lantaran malu mendengar percakapan mesum para sahabatnya yang tanpa sensor.

"Eh, lo sanggup berapa ronde sih sejak malam pertama?" Pertanyaan antusias Rena membuat Flora memelotot. "Pasti Kak Dicko minta jatah berkali-kali dalam sehari. Ya, kan? Ya, kan?"

"Ish, kepo aja lo." Flora mendadak tertarik membolak-balik buku menu.

"Lo kan udah seminggu balik dari Pulau Moyo." Vivian tak kalah gigih.

"Trus apa hubungannya?" Tangan kanan Flora terangkat tinggi, memanggil pelayan yang sedang melintas di area bar.

"Ya pastinya dalam seminggu ini lo nggak diizinin jauh-jauh dari laki lo, dong," sahut Cheryl. "Lagi masa seru-serunya bereksperimen dengan berbagai macam posisi dan gaya."

Flora menghela napas keras sambil memberi tatapan malas ke arah tiga pasang mata yang begitu menuntut jawaban. "Sori, ya. Nggak seperti yang lo bertiga bayangkan. Itu baru terjadi sekali. Kenapa? Karena gue masih takut-takut. Masih perih. Puas?"

Mengabaikan keluh kecewa ketiga sahabatnya, Flora memesan menu makan siangnya setelah si pelayan tiba.

"Eh, tapi iya juga, sih. Gue sampai lupa gimana rasanya ngeseks pertama kali. It happened a long time ago soalnya. Ha ha ha!" cerocos Rena begitu pelayan laki-laki itu pergi.

Turn Up (Sekuel Flora-Dicko) Where stories live. Discover now